Buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah ini berusaha mengangkat historiografi yang reflektif yang tidak hanya menguji secara kritis metodologi sejarah tetapi juga merumuskan dan menguji kembali berbagai klaim kebenaran dan juga melihat bagaimana hal tersebut merupakan dinamika sejarah. Tema-tema yang diangkat dalam penulisan buku ini seperti penulisan sejarah lokal, peran sejarawan dalam penulisan sejarah, periode sejarah yang dilupakan, pemahaman kembali mengenai arti peristiwa sejarah, ataupun tokoh-tokoh yang terlupakan serta tak kalah menarik buku ini memberikan perhatian terhadap sumber-sumber yang jarang dipakai seperti film, foto, sejrah lisan, karya sastra, serta lukisan dalam membuat narasi sejarah lain.
BAB 1 Memikir Ulang Historiografi Indonesia
Menenulis sejarah, terutama sejarah nasional, hal ini bukan sekadar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politis, Berbagai klaim mengenai asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi pemegang kekuasaan, status pahlawan nasional, siapa musuh dan siapa korban, peran atau nasib pengkhianat dan penjahat, siapa kaum elite dan kelompok tersisih, sudah lama menjadi pokok perdebatan sejarah, baik bagi pelaku politik maupun sejarawan, Mengapa penulisan sejarah dan klaim akan kebenaran (truth-claims) tentang masa lampau menjadi demikian penting? Hal ini karena sejarah dianggap sebagai dasar kesadaran sejarah yang fungsinya untuk memperkokoh identitas nasional atau kolektif. Salah satu sebab perselisihan pendapat mengenai bagaimana masa lalu sebaiknya ditampilkan dan fakta diciptakan, menjadi pertarungan tanpa akhir. Seperti kata Trouillot satu dekade lalu, 'permainan kekuasaan dalam penyusunan narasi-narasi alternatif diawali dengan penciptaan fakta maupun sumber' (1995; 29), Jika kita mengakui bahwa sejarah tentang 'apa yang terjadi' dan sejarah tentang apa yang 'dikatakan telah terjadi' adalah dua dimensi dari penulisan sejarah, maka kita juga harus mengakui bahwa perdebatan tentang sejauh mana terdapat batas yang tajam antara kedua dimensi itu, belum selesai.
Berbagai arti yang diberikan kepada waktu sejarah (historical time),peristiwa, serta pelaku sejarah. Hal ini akan menjelaskan kriteria yang akan digunakan oleh sejarawan untuk menetapkan bingkai waktu, peristiwa, atau persona tertentu dalam proses sejarah. Di bab ini pun kita juga akan mempelajari tentang persoalan narasi sejarah dan peranan ingatan, baik ingatan kolektif maupun ingatan perorangan dalam membentuk narasi tersebut. Lalu kita juga akan mempelajarai menganai relevansi sejarah popular,kehidupan sehari-hari dan bagaimana sejarawan dalam menghadapi yang tampaknya sulit ditangkap. Lalu pada bab ini kita juga akan mengupas berbagai genre dalam penulisan sejarah,interpretasi sejarah, peranan film dan fotografi di dalam historiografi.
Historiografi yang reflektif tidak saja menguji secara kritis metodologi sejarah, tetapi juga menguji dan merumuskan kembali berbagai klaim kebenaran dan menyelidiki terbentuknya klaim kebenaran secara historis, Hal inilah oleh Heather Sutherland dalam Bab Dua sebagai 'historicizing history/ (menempatkan sejarah dalam konteksnya). Tidak mengherankan, jika seruan untuk mengembangkan sejarah nasional Indonesia dan penulisan sejarah dari 'sudut pandang orang dalam' dikemukakan sebagai jawaban bagi tulisantulisan mengenai sejarah Indonesia oleh sejarawan Belanda atau sejarawan asing, yang sering meletakkan kekuasaan kolonial sebagai kekuatan sentral dan menyeluruh di balik pengembangan kehidupan modem dalam bentuk apa pun di Nusantara (Kartodirdjo 2001), Hal ini selanjutnya menyadarkan kita akan persoalan peransejarawan dalam penulisan sejarah. Apakah sejarawan lokal atau asli dapat menulis sejarah lebih baik daripada sejarawan asing? Banyak sejarawan Barat atau asing yang dianggap Eropa-sentris dalam pendekatan mereka, sedangkan sejarawan lokal dianggap lebih mengerti realitas sosial di lapangan. Apakah dikotomi ini dapat dipertahankan? Juga sering disinggung aspek praktis dalam penelitian sejarah.
BAB 2 MENELITI SEJARAH PNULISAN SEJARAH
Sejarawan menulis sejarah dalam gelanggang politikdan budaya yang selalu berubahubah. Adapun yang dibahas pada bab ini terdapat 2 dimensi. Pertama, ditingkat yang lebih umum yang memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan teoritis dan praktis yang sedang dihadapi oleh peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa laluyang bersifat filosofis (apa itu kebenaran?) sampai pada hal yang praksis (melukiskan suatu masyarakat dengan menggunakan konsep-konsepyang dikembangkjan dalam masyarakat lain?). Diskusi-diskusi seperti itu sudah seumur sejarah sendiri,akan tetapi menjadi sangat hidup dengan munculnya pascamodernisme yang akan kita bahas selanjutnya.
Dalam Concise Oxford Dictionary edisi 1964, sejarah adalah catatan terus menerus secara sistmatistentang kejadian-kejadian dalam masyarakat; rangkaian kejadian yang berkaitan dengan negara,orang,dan sebagaimya. Defenisi ini kelihatannya sudah jelas. Setelah dilihat lebih dekat kata ‘sejarah’ itu ternyata rumit. Di satu pihak, ‘sejarah’ berarti ‘catatan’, seperti apa yang ditulis dank arena itu berarti ‘kajian’ masa lalu. Di pihak lain sejarah juga diartikan rangkaian kejadian, terutama dalam kaitan dengan bangsa. Jadi sejarah dapat berarti apa yang telah terjadi menurut kata kita, dab apa yang sebenarnya terjadi. Sebenarnya keduanya merupakan dua konsep yang sangat bebeda satu sama lain (seperti sudah disadari Ibnu Khaldun pada abad ke-14 yag dikutip pada awal tulisan ini).Sejarah menurut konsep pertama adalah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Elemen-elemen dari masa lalu kita pilih dan kita beri peranan tertentu untukmenjelaskan dunia tempat kita hidup sekarang. Sejarah menurut konsep kedua berarti keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya _ masa lalu itu sendiri. Bagaimana mengatasi kontradisi yang terelakkan antara narasi terfokus ciptaan kita (sejarah sebagai catatan) dan kekacauan masa lalu (sejarah sebagai kejadian), inilah persoalan pertama histiografi.
Sejak defenisi seeejarah menurut Oxford muncul, penulisan sejarah telah banyak berubah. Sejarawan dipaksa untuk bertanya mengapa mereka menetapkan pilihan-pilihannya. Mengapa beberapa kejadian dimasukkan ke dalam narasi sejarah, mengapa kejadian-kejadian yang lain tidak? Mengapa setiap sejarawan memberikan makna tertentu keada suatu kejadian tertaentu, padahal kejadian itu dapat saja memiliki berbagai arti dalam beberapa konteks? Untuk menjawab semua pertanyaan ini, kita harus ‘historicise history’ (menguji sejarah penulisan sejarah) agar dapat memahami kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang mempengaruhi perkembangannya (penulisan sejarah). Pada umumnya disepakati bahwa satu-satunya bentuk
‘sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang saya namakan Modern Professional History (Sejarah Profesional Modern,SPM). SPM, Sebagaimana halnya negara birokrasi yang erat berkaitan dengannya, mencapai bentuknya yang khas di Eropa pada abad ke19. Baik topic (terutama politik,diplomasi, dan militer) maupun metodenya (penelitian arsip)yang dipilih sejarawan, mencerminkan kaitan yang erat antara ilmu yang baru itu dengan negara modern. Dengan struktur negara modern sebagai bentuk politikyang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan barat ke seluruh dunia sebagai sejarah ‘nyata’. Sejarah ‘nyata’ adalah seluruh dunia sebagai sejarah ‘nyata’.
BAB 3 Mengapa tahun 1950-an penting bagi kajian Indonesia
Penulisan historiografi nasional selalu penuh dengan persoalan, baik bagi orang yang menjadi bagian dari negara bersangkutan, maupun bagi orang luar. Dalam historiografi nasional Indonesia, tahun 1950-an selalu menonjol sebagai periode yang tidak dapat dimasukkan ke mana-mana dalam kisah jelas tentang apa yang terjadi setelah itu. Kesulitan periode 1950-an ini sering dikatakan akibat dari visi pemerintahan Soeharto mengenai sejarah yang menekankan stabilitas dan peran utama yang dimainkan Angkatan Darat bagi negara itu, tetapi berakhirnya sejarah era Soeharto baru-baru ini tidak diikuti oleh perubahan pemahaman kita mengenai periode pascakemerdekaan (Bourchier 194; Klinken 2001). Sementara banyak Iagi hal-hal Iain yang menyita perhatian para sejarawan Indonesia sejak 1998 -terutama perdebatan mengenai peristiwa 1965 dan akibatakibatnya, sehingga tahun 1950-an tetap merupakan sebuah masalah karena menyangkut persoalan-persoalan sensitif mengenai, seperti bagaimana negara dan bangsa Indonesia terbentuk, hakikat masyarakat indonesia yang sangat berbeda pada era itu, dan persoalan-persoalan kelas dan sosialisme, Yang tidak umum dibicarakan. Di Iain pihak, para sejarawan asing juga sama, tidak mempedulikan periode ini, kadang.kadang karena alasan-alasan yang senada dengan alasan-alasan yang diberikan sejarawan Indonesia.
Beberapa masalah dalam menafsirkan tahun sudah dikemukakan Oleh Ruth McVey. la menyebut era itu ‘dekade Yang menghilang' (disappearing decade), dan berharap 'kekaburan' era itu sudah berakhir pada tahun 1992 (McVey 1994). McVey melihat ada masalah mendasar, yakni membicarakan tahun 1950-an berarti berbicara mengenai 'Indonesia seharusnya seperti apa', McVey merujuk karya besar Feith yang memberikan batasan mengenai pemahaman kita mengenai era itu, The decline of constitutional democracy in Indonesia (Feith 1962), dan perdebatan yang terjadi kemudian antara Feith dan Benda yang menunjukkan bahwa analisis atas era itu sebagian tergantung pada upaya untuk menjawab pertanyaan mengenai sistem politik macam apa, jika bukan demokrasi macam apa, yang sebaiknya dimiliki Indonesia (Benda 1982 [pertama kali 1964); Feith 1982 (pertama kali 1965)). McVey benar ketika mengatakan bahwa masalah tahun 1950-an adalah persoalan hakikat demokrasi dan bagaimana pengembangan demokrasi seharusnya berjalan, tetapi itu baru sebagian saja dari seluruh cerita. Ada sejumlah masalah Iain mengenai tahun 1950-an yang juga mendesak-pernah juga disinggung oleh McVey termasuk masalah apa itu bangsa Indonesia, dalam arti masalah bagaimana negara itu lahir dan menjalin atau tidak menjalin hubungan dengan masyarakat. Semua problematik ini tertumpu pada masalah definisi kapan sebenarnya tahun 1950-an' berlangsung. Buku Feith mengupas periode Demokrasi Konstitusi, 1950-1957, yang sering dianggap tahun 1950-an itu sendiri, karena Demokrasi Terpimpin sering dimasukkan ke dalam tahun 1960-an. perspektif pemerintahan ini menjadikan 'tahun 1950-an' periode Yang sangat pendek. Jika kita terima bahwa beberapa persoalan negara dan masyarakat pada tahun 1950-an adalah peninggalan dari Revolusi Indonesia, maka tahun 1950-an mulai sekitar tahun 1940an, barangkali bahkan sejak tahun 1945, dan berlangsung hingga tahun 1960-an, mungkin juga sampai tahun 1968 atau 1974, dua tahun yang merupakan kunci Saat Orde Baru mengambil alih kekuasaan dan memperkokohnya. Dengan demikian, perspektif Yang lebih luas dari Sisi politik menghasilkan tahun 1950-an yang sangat panjang.
BAB 4 Pramoedya dan historiografi Indonesia
Pramoedya dalam historiografi Indonesia bukan perkara mudah, Begitu banyak yang telah dikerjakannya, mulai dari menulis artikel sejarah, mencari, mengumpulkan, dan menyusun bahan untuk memperkuat suara dan memperjelas sosok orang Indonesia yang dalam historiografi kolonial/nasional tampü melalui pandangan pejabat kolonial. Setelah Arus balik dan Mangir ia maslh menerbitkan studi tentang jugun ianfu di Pulau Buru yang disusunnya berdasarkan wawancara dengan perempuan korban yang terdampar di sana. Tahun 2001 ia menandingi sumber kolonial tentang kamp tahanan Boven Digoel dengan Cerita dari Digul yang memuat kisah orang Indonesia tentang kamp tersebut. Saat ini ia masih menyusun Ensiklopedi Citrawi Indonesia, yang disebutnya sebagai karya sosio-geografis dan dimulainya saat masih mendekam dalam tahanan. Cukup jelas dengan penerbitan sebanyak itu sumbangannya terhadap historiografi Indonesia tidak bisa dianggap sepi.
Historiografi kolonial merupakan sumbangan pokok, karena dari sinilah mengalir berbagai arti penting Iainnya. Menariknya, Pramoedya tidak pernah terlibat dalam perdebatan atau diskusi tentang historiografi Indonesia yang bersemangat membedakan diri dari - tapi seperti kita tahu tetap tertambat pada - historiografi kolonial yang dikritik. Tanpa sadar mungkin, karena seperti yang diperlihatkan Pramoedya dalam karya-karyanya, historiografi rumah kaca punya wajah pribumi la sepertinya bekerja sendiri dan mungkin merasa lebih perlu berdialog dengan Sübjek yang dipelajarinya daripada sesama penulis sejarah. Sebagai seorang otodidak tulen ia tidak pemah dilatih dalam hal teori dan metode sejarah. la tidak memiliki dan tidak pemah bemiat menyusun sistem filsafat sejarah yang koheren. Tulisan-tulisan tr?tang sejarah yang tersebar di berbagai media mungkin lebih tepat dibaca sebagai kumpulan fragmen ketimbang sebuah badan pengetahuan yang utuh, Adalah intensitas menggali dan membaca bahan-bahan sejarah dan pengalaman hidupnya sendiri yang nwnpertemukannya dengan politik penulisan sejarah yang berakar pada zaman kolonial, melalui interregnum Soekarno, dan bermuara pada Orde Baru
Tidak ada kiranya penulis Indonesia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesar Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama di dunia dan belasan bahasa lainnya di Eropa dan Asia, membuamya berulangkali mendapat penghargaan internasional. Tahun 1995 ia menerima Anugerah Magsaysay dan selama beberapa tahun terakhir namanya selalu disebut sebagai calon penerima Anugerah Nobel di bidang sastra. Saat ini sudah ada puluhan buku, disertasi, skripsi sarjana, artikel ilmiah dan ratusan tinjauan buku yang membahas karya-karyanya dari masa awal maupun karya-karya yang ditulis semasa ditahan di Pulau Buru, yang menegaskan posisinya sebagai penulis novel paling penting dan terkemuka di Indonesia, Tapi menariknya hanya sedikit yang mengulas perannya sebagai intelektual dan kritikus budaya (Scherer 1981, Miller 1993), dan lebih sedikit lagi yang menulis mengenai kedudukan dan perannya sebagai seorang peneliti dan penulis sejarah (Wertheim 1995), Sungguh ironis, mengingat karya Pulau Buru yang mengantarnya pada kedudukan itu adalah hasil penelitian sejarah yang mendalam, Ada lebih dari artikel sebagian besar diterbitkan dalam bentuk serial - mengenai berbagai aspek sejarah yang disusunnya antara 1956 ketika ia mulai menaruh perhatian khusus terhadap studi sejarah secara sistematis sampai 1965 saat kerja keras itu diakhiri secara paksa oleh Orde Baru. Sejauh ini tulisan-tulisan tersebut belum diperhatikan secara serius, baik oleh peminat dan kritikus sastra maupun sejarawan.
Pramoedya adalah salah satu dari sedikit yang dan menemukan lahan subumya dalam politikfloating mass yang antipolitik pada masa Orde Baru (Farid 2005). Pada awal Orde Baru kalangan sejarawan s?ara tegas membedakan diri dari history yang dibuat oleh para penulis kiri yang dlberangus maupun bad history atau penulisan sejarah yang lebih populer dan dianggap tidak ilmiah. nrnu sejarah me?urut establishment saat itu adalah penulisan tentang masa lalu yang objektif, dari keFtingan politik dan ditulis dengan kaidah ilmiah. Pramoedya tidak memfliki semua itu. Sejarah yang ditulisnya penuh gairah, sangat subjektif, bermuatan politik, dan tidak terlalu peduli pada kaidah ilmiah.
Tulisan ini tidak bermaksud menobatkan atau menuntut pengakuan terhadap Pramoedya sebagai sejarawan sebagaimana istilah itu dimengerti dalam ilmu sejarah, Di samping tidak memiliki otoritas maupun minat untuk melakukannya, saya kira Pramoedya juga tidak memerlukan gelar atau pengakuan semacam itu, Kehidupan dan karya Pramoedya sendiri dapat menunjukkan bahwa Fgucdan karya sejarah atas nama ilmu dan politik negara bukan sekadar warisan kolonial yang merugikan tapi lebih jauh. Namun, kemasyhuran karya sastra itu hendaknya tidak membuat orang lupa perannya sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menggasak lawan politik mereka melalui tulisan dan perbuatan.3 ada pula yang menganggap karya-karya dari periode 1950-an, sebelum ia bergabung dengan Lekra dan menjadi seorang intelektual kiri terpandang, lebih baik mutunya daripada karya-karya belakangan yang susah dari pamflet (Teeuw 1979). Alhasil, dalam wacana kebudayaan dan intelektual Indonesia sekurangnya ada dua Pramoedya, sang sastrawan ulung dengan sederet mahakarya dan seorang pnphleteer yang menggasak lawan bicaranya dengan pena teramat tajan Dan kedua Pramoedya ini bukanlah ahli sejarah.
BAB 5 Militerisasi sejarah Indonesia
Sejarah militer yang memiliki usia yang sangat panjang. Bukankah salah satu teks sejarah lama Histoire de la guerre du Peloponnese (Sejarah Perang Peloponesos) yang ditulis Thucydide abad ke-5 merupakan sejarah militer. Di Prancis setelah tahun 1870 minat terhadap sejarah militer meningkat pertama, dalam rangka mengenang kemenangan ta•ttara terhadap musuh dan kedua, pentingnya pengkajian strateg militer. Yayasan La Sabretache yang didirikan untuk mengumpulkan benda-benda yang berhubungan dengan kemiliteran menjadi cikal bakal Museum Tentara di Prancis tahun 1896. Novel biografis mencakup bidang yang lebih luas daripada kejahatan, Di antara berbagai contoh dapat kita sebutkan novel biografis karangan Ramadhan KH, yang menggambarkan înggjt, istri pertama Presiden Soekamo dengan agak terlalu berlebihan manis? Novel biografi yang paling terkenal dari semuanya dan su?ah sepatutnya ialah tetralogi Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia, berdasarkan kehidupan seorang wartawan nasionalis Tirto Adhisoerjo pada awal abad ke-20. Hilmar Farid (dalam buku ini) rnmgemukakan dengan meyakinkan bahwa tetralogi ini sebaiknya juga dlbaca sebagai sejarahi tidak hanya sebagai sastra.
Tentu saja militer tidak berhubungan dengan perang saja tetapi juga berkaitan dengan aspek lain, seperti timbulnya sentimen kebangsaan. Eugene Weber mengungkapkan justru nasionalisme di kalangan petani Prancis berkembang awal abad ke-20 ketika wajib militer diadakan. Sebagian orang beranggapan nasionalisme Prancis sudah berkembang sejak abad ke18 dengan pecahnya Revolusi Prancis tahun 1789. Namun pada masyarakat petani Prancis temyata nasionalisme muncul lebih belakangan Sejarah militer yang berasal dari "dapu€' (foyer)3 militer tentu menekankan stabilitas dan keamanan negara. Tidak ada masalah kalau sejarah ini ditujukan secara khusus kepada kalangan sendiri. Persoalan baru timbul bila sejarah militer ini dipaksakan untuk diajarkan di sekolah. Dengan kata Iain, misalnya dilakukan militerisasi sejarah dengan menekankan pentingnya operasi militer dalam penumpasan pemberontakan. Pada buku pelajaran sekolah semasa Orde Baru, operasi penumpasan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan pemberontakan Iainnya diuraikan secara rmci termasuk mencantumkan nama para komandan yang memimpin masing-masing operasi. Untuk membantah pandangan bahwa gerakan militer yang dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952 termasuk pemberontakan diberikan penjelasan yang panjang oleh pelaku sejarah, yakni Jenderal Nasution.
Adapun dalam tulisan ini membahas Nasution yang mengawali pekerjaan yang kemudian dilaksanakan oleh Nugroho Notosusanto,Walaupun pekerjaan Nugroho lebih sistematis dalam melakukan militerisasi pendidikan sejarah di sekolah pada masa Orde baru, namun dasardasarnya sebetulnya telah diletakkan oleh Jenderal Nasution. Bukan hanya sekadar merumuskan legitimasi historis peran militer tetapi Nasution juga berhasil merumuskan dan mewujudkan konsep yang merupakan legitimasi konstusional tentara dalam politik nasional. Bagi Nasution, sejarah merupakan bagian tak terpisahkan atau paket dari "desain besar militer dalam meraih kekuasaan Menurut Nugroho Notosusanto, "lahirnya Orde Baru dianggap bertepatan dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Pak Harto oleh Bung Karno, Mulai tanggal 11 Maret 1966 itulah kita mengambil langkah-langkah untuk menegakkan Orde Baru, yakni tatanan seluruh perikehidupan Rakyat, Bangsa dan Negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian muncul pandangan lain bahwa Orde Baru sudah ada sejak 1 Oktober 1965 dengan alasan, bahwa sejak itu telah terjadi pembangkangan (insubordinasi) dari Soeharto terhadap Presiden Soekamo dengan kata lain "kudeta merangkak" telah diawali pada tanggal tersebut. Pertimbangan lain, kalau 11 Maret 1966 dijadikan awal Orde Baru, berarti rezim ini tidak bertanggungjawab atas
Orang Barat yang sudah pernah ke Indonesia tahu, bahwa sikap rendah hati adalah sikap yang terpuji di negeri itu. Menonjolkan diri tidak termasuk kebajikan di Indonesia. Sebuah buku kecil mengenai Pancasila mengatakan: '[E]goisme, egosentrisme, dan egomaniakalisme merupakan tiga sifat buruk yang sama sekali tidak ada tempatnya dalam Pancasila sebagai pandangan hidup (way of life) seluruh bangsa Indonesia' (Halim 1987:41). Oleh karena itu, tamu asing itu mungkin akan terheran.heran melihat tidak saja bahwa pasar dalam negeri untuk bukubuku yang ditulis oleh orang Indonesia tentang dirinya sendiri menyaingi pasar untuk novel, tetapi juga bahwa sang tokoh dalam buku-buku itu dan ini sungguh mengherankan juga sering menonjolkan diri sendiri, jika tidak hendak dikatakan egois. Perhatian yang dicurahkan para peneliti kepada biografi, autobiografi, dan memoar yang membanjiri tokotoko buku itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan perhatian yang mereka curahkan kepada fiksi Indonesia.
Penulisan biografi di Indonesia sangat berbeda dari penulisan biografi di Barat. Tanpa menyingkapkan perasaannya, sang tokoh selalu berada di baris depan, selalu aktif dan berusaha sekuat tenaga mengikuti teladan para tokoh pahlawan terkemuka. Novel biografis mencakup bidang yang lebih luas daripada kejahatan, Di antara berbagai contoh dapat kita sebutkan novel biografis karangan Ramadhan KH, yang menggambarkan înggjt, istri pertama Presiden
Soekamo dengan agak terlalu berlebihan manis? Novel biografi yang paling terkenal dari semuanya dan sudah sepatutnya ialah tetralogi Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia, berdasarkan kehidupan seorang wartawan nasionalis Tirto Adhisoerjo pada awal abad ke-20. Hilmar Farid (dalam buku ini) rnmgemukakan dengan meyakinkan bahwa tetralogi ini sebaiknya juga dlbaca sebagai sejarah tidak hanya sebagai sastra. Orang-orang terkenal dalam bidang seni hiburan juga Salah satu topik kegemaran para penulis biografi. Juga di sini makin banyak buku yang muncul pada tahun-tahun terakhir ini, meski minat pada top?k ini sudah ada sejak bertahun-tahun yang silam. Kembali di sini negara tampaknya hampir tidak disinggung. Ketika penyanyi yang semakin punya nama dan bintang film Nike Ardilla tewas dalam kecelakaan mobil sendiri pada saat tengah malam (kemungkinan ada pengaruh madat karena sebelumnya ia berada di sebuah diskotlk), paling tidak ada tiga buku yang ditulis mengenai dia. Buku yang terbaik (Arief 1996) bercerita tentang semacam 'gadis tetangga yang trenjadi populer karena jenaka di atas pentas, baik hati pada orang-orang yang kurang beruntung, dan selalu santun pada teman-temannya dan keluarganya. Tidak ada ideologi negara Pancasila, tidak pemah ada rujukan pada merdeka, dan hanya sekali kita melihat pejabat pemerintah: Sekretaris Negara Moerdiono, yang dikenal sebagai penggemar musik pop, yang sedang berdiri di depan mikrofon pada sebuah konser peringatan; ia sendiri, dari menteri menjadi seorang selebriti kecil, Nike Ardilla mewakili generasi pasca Indonesia; bagi dia tidak satu pun dari simbol-simbol yang digandrungi oleh generasl Soeharto mempunyai makna.
Kematian Tan Malaka bukan kematian seorang pahlawan. la itangkap satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ketika sedang dalam pelarian. Penangkapannya terjadi pada tanggal 21 Februari 1949 di sebuah desa di lereng Gunung Wilis dekat Kediri, Jawa Timur. la ditembak mati begitu saja, atau ditembak setelah divonis pengadilan militer semu. Ada kemungkinan ia dikuburkan secara cepat dan kuburannya belum ditemukan hingga sekarang. Oleh karena, alasan-alasan yang tertentu, para perwira TNI yang bertanggung jawab memilih bersikap diam mengenai terbunuhnya Tan Malaka. Mereka takut kalau para pengikut radikal Tan Malaka yang berusaha mati-matian mencari jejak pemimpin mereka akan balas dendam. Setelah berbulanbulan berlalu, masih juga belum jelas bagaimana sebenamya Tan Malaka menemui ajalnya. Dan, siapa para pelakunya? Ketika pada bulan Juli 1949 Soekarno dan Hatta menduduki kembali jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia di Jogjakarta, pemerintah juga tidak menaruh minat untuk mengetahui secara rinci kematian Tan Malaka. Karenanya segala macam pertanyaan yang canggung dapat muncul, sehingga pemimpin sipil Republik Indonesia (RI) merasa lebih tenang jika kematiannya tetap menjadi misteri. Juga tidak ada alasan bagi para pemimpin tersebut untuk melakukan sesuatu karena dorongan perasaan sirnpati, solidaritas, atau kedekatan pandangan politik Dalam minggu-minggu pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan, Soekarno bertemu Tan Malaka.
Semua berubah setelah tanggal 30 September 1965. Melemahnya kekuatan Soekarno terjadi bersamaan dengan naiknya Soeharto. Dengan memanfaatkan hubungannya yang baik dengan angkatan darat, para pemimpin Partai Murba diizinkan muncul kembali ke panggung politik, meskipun berideologi komunis. Namun selama Orde Baru, latar belakang ini ditutup-tutupi. Lebih dari setahun lamanya, barulah Partai Murba direhabilitasi dalam dekrit yang ditandatangani Soekarno. Sukarni dibebaskan dari penjara dan dikembalikan pada kursi ketua Partai Murba. Sementara itu partai itu dalam keadaan berantakan. Tidak ada semangat untuk membangun partai kembali. Dalam iklim antikomunis yang sedang marak, para penumpin Partai Murba berhati-hati sekali menjaga agar jangan sampai akar Marxis dan komunis mereka mencuat. Tan Malaka lenyap dari Sisi panggung.
Dengan sumber daya terbatas, sudah banyak yang dilakukan Forum Komunikasi. Mereka menerbitkan kembali tulisan-tulisan Tan Malaka dalam bentuk fotokopi atau mengetik ulang teks-teksnya. Tulisan-tulisan ini beredar di antara anggota Forum Jumlahnya tidak lebih dari 50 eksemplar. Pihak berwenang membiarkan mereka melakukan kegiatan ini. Penerbitnya, Yayasan Massa, selalu mengirimkan kepada pihak berwenang beberapa eksemplar yang disertai catatan penerbit pada halaman pertama dengan bunyi sebagai berikut: Untuk jangan adanya salah pengertian terhadap isi dan maksud terhadap semua almarhum Tan Malaka (Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan Bapak Murba Indonesia), maka Yayasan Massa merasa perlu menyarankan agar sebelum membaca setiap karya2nya, baik yang telah merupakan buku2 atau brosur2 dll nya, agar dapat kiranya para pembaca untuk meneliti tanggal dan tahun berapa tulisan yang dimaksud ditulis oleh almarhum Tan Malaka dan juga agar diketahui pula dalam keadaan apa serta situasi/kondisi bagaimana sewaktu itu teruuma didalam negeri serta luar negeri. Dengan demikian maka tulisan2 almarhum akan dapat dimengerti/ ditelaah secara jelas untuk disesuaikan dengan situasi/kondisi yang ada sekarang maupun waktu yang lampau. Justru karena itulah Yayasan Massa tetap mempertahankan tulisan2 almarhum Tan Malaka yang asli (sesuai dengan hukum yang berlaku) agar jangan bisa oleh siapapun. ('Siaran Yayasan Massa', Buletin Forum Komunikasi Keluarga Besar Murba no. (15&1980) Tan Malaka memudar dari ingatan kolektif di Indonesia, Dalam buku pelajaran sekolah ia disebut - jika disebut - dalam beberapa baris sebagai seseorang yang memperlemah persatuan dalam perjuangan revolusi. Dan dalam buku-buku semii ilmiah nasibnya tidak lebih baik. Forum sangat menyesalkan hal ini, tetapi tidak berdaya untuk mengadakan perubahan.
Format lain yang penulis gunakan dalam buku kami ialah tulisan analitis dengan tujuan utama menyajikan argumen mengenai peristiwa tertentu. Kutipan-kutipan terpilül diambil dari wawancara sehingga pembaca tidak terlalu banyak tahu mengenaii riwayat hidup orang yang diwawancarai. Perhatian utama esai serupa ini ialah membangun argumen mengenai mengapa dan/atau bagaimana suatu peristiwa terjadL Peristiwa-peristiwa yang dianalisis dalam buku kami adalah pa-tangkapan besar-bsaran di Jawa Tengah pada tahun 1965-66, percobaan PKI melancarkan pemberontakan bersenjata di Blitar Selatan pada tahun 1967-68, dan kerja paksa yang dijalankan tahanan politik dari akhir tahun 1960-an hingga akhir tahun 1970-an, Kutipankutipan dalam esai•esai lenís iní digunakan untuk membuat klaim kebenaran dan karena itu beberapa ulasan penulis harus didasarkan pada keterandalan pemyataanpemyataan orang yang diwawancarai dan pada metode-metode yang digunakan untuk menguji Rebenaran pernyataanpernyataan tersebut, Esai serupa ini berbeda dengan tulisan-tulisan sejarah yang lazim dijumpai (seperti buku Anderson) dari sisi panjang kutipan dan kesetiaan terhadap suara pembicara dalam kutipan dari transkripsi. Kami memasukkan kutipan-kutipan panjang, kata per kata (verbatim), Perimbangan suara penulis dan suara orang yang diwawancarai, dan perimbangan paparan riwayat hidup dan analisa sebuah peristiwa, sejalan dengan perimbangan yang diuraikan diatas antara empati dan objektifikasi, Bentuk penulisan dengan kadar empati yang ekstrim akan menyajikan seluruh kisah dalam suara orang yang diwawancarai dan terpusat sepenuhnya pada riwayat hidup orang tersebut. Bentuk penulisan dengan objektifikasi yang ekstrim akan menekankan suara penulis dan analisisnya sendiri tentang sebuah peristiwa dan mengutip wawancara hanya sebagaí butir-butir pembuktian.
Peristiwa yang terjadi siang hari tanggal 6 Februari 1989 rombongan Musyawarah impinan Kabupaten (Muspika) Lampung Tengah di bawah pimpinan Kepala Staf Daerah Militer
(Kasdim) Lampung Tengah Mayor EVO. Sinaga pergi ke Kampung Cihideung di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah.t Tujuan kedatangan adalah memaksa Warsidi, pimpinan utama kelompok pengajian di Cihideung, untuk menghentikan kegiatan pengajiannya, Warsidi Oleh mereka dituduh melakukan kegiatan subversif untuk mendirikan Negara Islam. Permintaan dan tuduhan ini ditolak, sehingga terjadi bentrokan fisik Kapten Soetiman tewas dibacok pengikut Warsidi. Rombongan Muspika Lampung Tengah segera meninggalkan Cihideung, Beberapa jam kemudian, pada malam harinya, aparat keamanan mengepung pemukiman kelompok pengajian Warsidi, Mereka memaksa Warsidi beserta pengikutnya menyerahkan diri dan menyerahkan mayat Soetiman. Karena Permintaan ditolak, nuka Cihideung dihancurkan sekitar pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989 oleh aparat keamanan.2 Akibatnya Warsidi beserta sebagian besar pengikutnya meninggal dunia. Sebagian pengikutnya lagi ditangkap di berbagai daerah, seperti Lampurt& Padang (Sumatra Barat), Jakarta, dan Solo (Jawa Tengah). Peristiwa ini dikenang sebagai Peristiwa Lampung, Peristiwa Talangsari dan Gerakan Pengacau Keamanan Warsidi (GPK Warsidi).
Peristiwa Lampung merupakan salah satu konflik vertikal antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu kejatuhan pemerintah Orde Baru pada 21 Mei 1998 memberikan kesempatan untuk menyingkap kasus tersebut. Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Penguasa Orde Baru ini digantikan oleh B.JV Habibie. Di antara kebijakan politik Habibie adalah membebaskan seluruh tahanan politik, Oleh karena itu, para tahanan kasus Lampung juga dilepaskan dari penjara. Pembebasan mereka memberikan kemungkinan diperolehnya data dan fakta baru. Faktor ini mendorong perlunya dilakukan penulisan ulang terhadap Peristiwa Lampung.
Adapun Sejak tahun 1989 hingga tahun 1999 sudah tersedia sejumlah hipotesa terhadap Persitiwa Lampung 1989. Pertama, pihak militer berkeyakinan Warsidi dan kelompoknya melakukan gerakan subversif untuk menggulingkan Presiden Soeharto agar bisa mendirikan negara Islam di Lampung.3 Kedua, sejarawan terkemuka Indonesia Sartono Kartodirdjo berpendapat Warsidi dan kelompoknya adalah sebuah gerakan keagamaan yang dipengaruhi ideologi ratu adil.4 Ketiga, al-Chaidar, seorang tokoh penerus gerakan Darul Islam yang berlatar belakang disiplin ilmu politik, bahwa Warsidi beserta kelompoknya dibentuk Oleh aparat intelijen negara di bawah kendali Leonardus Benny Moerdani, 5 tokoh intelijen Yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. la dipercaya sebagai Otak perekayasa kelompokkelompok Islam radikal akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980an.
Kegagalan historiografi Indonesia menghadirkan sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat dan sejarah orang kebanyakan sebagai Salah satu kategori dalam sejarah sosial. Tulisan ini akan dimulai dengan paparan tentang ironi penuiisan sejarah Jakarta dan tidak hadirnya rakyat sebagai pemeran utama dalam rekonstruksi tentang masa Ialu Jakarta yang dilakukan oleh sejarawan Indonesia bagian selanjutnya akan membangUn deskripsi sederhana tentang masa lalu keseharian masyarakat dan orang kebanyakan di Jakarta. Pembahasan itu tidak dimaksudkan sebagai kajian komprehensif tentang sejarah masyarakat atau orang kebanyakan dan kehidupan sehari-hari Jakarta, melainkan hanya untuk memberi contoh tentang unsur-unsur penting yang seharusnya dihadirkan dalam sejarah kota Jakarta namun ternyata hilang atau terlupakan dalam historiografi Indonesia selama ini, Kalaupun tullsan ini akan lebih banyak membahas tentang keburaman hidup sehari-hari orang kebanyakan, bukan berarti mengingkari adanya keberhasilan orang kebanyakan, kemakmuran, kemewahan, atau proses menjadi kaya, Penjelasan untuk menjawab pertanyaan pertanyaan mendasar yang muncul dari permasalahan pokok yang bersifat konseptual baru akan disampaikan pada bagian berikutnya. Bagian terakhir ini juga akan membahas akibat metodologis dan historiografis dari penulisan sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat kebanyakan terhadap studi sejarah Indonesia oleh orang Indonesia. Hal itu berkaitan dengan usaha untuk menghadirkan format tambahan dalam kajian sejarah sosial Indonesia, yang selama ini hanya terfokus pada petani sebagai representasi masyarakat kebanyakan dalam sejarah Indonesia dan melupakan masa lalu dari kehidupan sehari, terutama di perkotaan. Pembahasan akan ditempatkan dalam konteks pendekatan baru yang telah berkembang di kalangan sejarawan Asia lain sejak beberapa tahun terakhir, namun kurang mendapat perhatian dalam historiografi Indonesia setelah pembaharuan yang dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo kurang lebih empat puluh tahun yang lalu.
Adapun kerangka pendekatan yang mendasari pengamatan atas pemogokan juga mengandung bobot politik dan historis yang cukup kental karena menyangkut bagaimana perubahan tentang masyarakat dibayangkan. Pendekatan-pendekatan klasik mengenai Pemogokan dan protes buruh bermula pada tulisan-tulisan awal Marx dan Engels yang melihat aksi protes kolektif sebagai indikator kesadaran kelas yang pada gilirannya merupakan konsekuensi dari kontradiksi-kontradiksi ekonomi yang muncul dari akumulasi modal (industri) di satu pihak dan proses proletarianisasi (dilepaskannya kelompok sosial tertentu dari alat produksi, seperti tanah atau modal) di pihak lam.
Terlepas dari kenyataan bahwa di kalangan kaum Marxis sendiri ada perbedaan pendapat mengenai peranan pemogokan dan bagaimana mengartikannya sebagai pengungkapan kesadaran buruh; dan bahwa dalam ilmu sosial pula terdapat berbagai perdebatan tentang cara menganalisa pemogokan maupun posisi kaum buruh, dimensi politik dari apa yang dilihat sebagai puncak kesenjangan ekonomi inilah yang memberi pemogokan makna yang besar dan tak lepas dari peristiwa-peristiwa pemogokan di masa lampau. Bagi sebagian orang gerakan buruh pemogokan menjadi fenomena yang diidamkan, simbol dari bangkitnya suatu gerakan demokrasi dan pendobrakan struktur otoriter yang mencekam. Terutama dalam periode-periode transisi, ada atau tidaknya gerakan buruh mendapat sorotan besar, Peranan gerakan buruh sebagai salah satu komponen dalam proses dekolonisasi pada tahun 1940-an atau dalam mempersiapkan Iahan bagi tumbangnya pemerintah Soeharto pada akhir tahun 1990-an misalnya, banyak dibicarakan - baik karena kehadirannya maupun kealpaannya. Suatu transformasi sosial yang tidak melibatkan atau dibangun bersama keringat orang biasa bukanlah transformasi yang otentik. Bagi sebagian orang yang lain, terutama mereka yang di simpul-simpul kekuasaan, gerakan buruh menjadi fenomena yang dikhawatirkan sebagaimana pula gerakan politik lainnya, Kekhawatiran ini bukan hanya didasarkan pada bayangan bahwa buruh akan mempengaruhi jalannya kebijaksanaan di suatu perusahaan tertentu tapi juga berakar pada kemungkinan penularan atau penjalaran keresahan dari satu tempat ke tempat lain yang seringkali diasosiasikan secara cepat pula dengan penjalaran pengaruh kelompok komunis,
Beban sejarah inilah yang menyebabkan begitu banyak arti yang diberikan terhadap pemogokan buruh yang seringkali tak diuji metodologinya maupun dasar analisisnya. Pemahaman tentang kesadaran kelas kaurn buruh, pada akhirnya diukur dari tindakan para pemimpin gerakan karena para pemimpin inilah yang muncul dalam media, dalam Iprnegosiasi dengan aparat perusahaan maupun pemerintahan. Selain itü tindakan buruh sebagai kelompok dilihat merembes dan membentuk alam pikiran buruh sebagai individu, Kesadaran kelompok langsung diterjemahkan sebagai kesadaran individü dan begitu pula sebaliknya. Bentuk aksi protes kolektif dan hubungannya dengan pnis kesadaran yang dimiliki ?nilah yang menjadi bahan perdebatan di kalangan para intelektual dari zaman ke zaman. Bagi Marx dan Engels dalam tulisan-tulisan awal merekaj pemogokan adalah manifestasi langsung kesadaran kelas dan identitas buruh. Akan tetapi, tokoh-tokoh lain, seperti Lenin, Luxemburg, atau para ilmuwan masa kini, misalnya Hobsbawm, mempersoalkan pnis-pnis kesadaran yang lahir dari aksi protes buruh, Menurut mereka, 'perlawanan ekonomi' atau 'kesadaran kelompok' muncul dan perjuangan menuntut kenaikan upah dan perjuangan di tempat kerh, sedangkan Ikesadaran revolusioner' tidak saja berarti kesadaran mengenai ketimpangan di tempat kerja tetapi juga mengenai ketimpangan dalam struktur yang lebih be?ar (Keliy 1988:13-21), Melalui proses pengaitan ini, terbentuklah hubungan anaüds yang langsung antara aksi protes bersama dengan hakekat kesadaran buruh.
BAB 13 Aceh: Narasi foto, 1873-1930
Dalam masyarakat mana saja, minat pada masa silam timbul tenggelam mengikuti situasi politik dari zaman ke zaman. Di Indonesia sekarang, minat pada masa lalu semakin tinggi setelah pemerintah memperlonggar kendalinya yang sebelumnya ketat, atas warga masyarakat, Perdebatan terbuka, yang sebelumnya ditindas Oleh pemerintahan Presiden Soekamo dan pemerintahan Presiden Soeharto, sekarang mempersoalkan narasi besar sejarah negara, dan menuntut agar diadakan penelitian atas krisis-krisis penting yang terjadi pada masa setengah abad pertama perjalanan republic.
Dalam buku ini rekan-rekan penulis menyambut tantangan yang muncul dari zaman yang dinamis itu. Mereka memperkenalkan pelaku-pelaku baru: orang biasa, orang yang dilarang bicara politik, tokoh revolusi dan gerakan serta pelaku penumpasan. Mereka menggali bahan dari sumber-sumber baru untuk melengkapi atau menyanggah dokumen-dokumen pemerintah Yang dijadikan landasan untuk menyusun sejarah zaman sebelumnya. Mereka melakukan wawancara, bahkan mengajukan pertanyaan.pertanyaan baru yang muncul dari zaman baru, adapun para peneliti Indonesia, yang telah dicekoki dengan sejarah nasional hasil perjuangan gemilang, sekarang mengakui bahwa Indonesia sedang terpecah belah, Indonesia tidak saja dilanda oleh tuntutan-tuntutan akan otonomi daerah atau pemisahan diri dalam derajat yang berbeda-beda, tetapi juga dilanda tuntutan-tuntutan bagi bentuk-bentuk baru pemerintahan demokratís atau teokratis. Aceh adalah salah satu dari berbagai tantangan terbesar yang dihadapi narasi besar persatuan Indonesia. Digambarkan dalam sejarah resmi dan dalam pikiran masyarakat luas sebagai pusat perlawanan paling gigih atas penindasan oleh kekuasaan kolonial dan pendukung gigih perjuangan kemerdekaan, Aceh juga pemah, sepanjang bagian terbesar usia republik, memerlukan pengendalian oleh militer untuk mempertahankannya tetap berada dalam haribaan negara-bangsa itu. Tulisan ini, menjawab ajakan proyek untuk mencari sumber-sumber baru dalam kaitannya dengan upaya memikir ulang sejarah Indonesia (Schulte Nordholt 2004), memperkenalkan bahan gambar dari arsip visual KITLV untuk penelitian mengenai Aceh.
Foto adalah catatan yang direkayasa secara canggih, hasil dan hubungan sekilas antara orang yang difoto dengan juru foto, bahan sejarah, foto dapat dimanipulasi melalui seleksi, seperti halnya dengan sumber-sumber yang lain. Fokus kajian saya pada isi fotr, apa atau siapa yang penting menurut juru foto untuk diabadikan melalui proses teknologi yang masih tergolong baru dan mahal, dan bagaimana foto membantu kita memahami masa lalu? Foto-f0t0 tentang Aceh saya pelajari dengan membandingkannya dengan fotofoto lain dalam arsip KITLV yang diambil pada periode yang sama di wilayah-wilayah lain di seluruh Nusantara, Saya dapat memperlihatkan manfaat sumtM-sumber baru ini bagi sejarah lama dan potensi arsip foto digital bagi penelitian sejarah. Pada masa lalut untuk memperoleh foto-foto KITLV peneliti harus datang ke tempat penyimpanan di Leiden, Sekarang, setelah KITLV menyebarkan koleksinya yang besar melalui internet, foto-foto dapat diperoleh dengan mudah dari titik mana saja di dunia, Bagi peneliti Indonesia' arsip elektronik itu sangat penting, karena merupakan cara tercepat untuk memperoleh sumber-sumber tambahan untuk menyUSUn sejarah-sejarah baru Indonesia, dalam rangka memenuhi kebutUhan yang sedang berubah bagi generasi-generasi baru masyarakat Indonesia.
Upaya mencari sejarah kehidupan sehari-hari dan tantangan mengembangkan sumber dan pendekatan analisis yang baru juga relevan bagi sejarawan Indonesia. Selama puluhan tahun historiografi resmi mengikuti pedoman yang ditetapkan Oleh pemerintah. Secara eksklusif terfokus pada kebangkitan bangsa di bawah Presiden Soekarno. Atau pada narasi pembangunan yang merayakan hasil-hasil yang dicapai pemerintah Orde Baru. Pendekatan ini tidak saja menyingkirkan eksplorasi lebih lanjut mengenai sejarah sosial, tetapi juga tidak memberikan ruang kepada rakyat jelata di Indonesia untuk turut memainkan peran yang berarti dalam sejarahnya sendiri. Dalam proyek kami, kehidupan seharihari (sebagian besar) rakyat biasa mendapat tempat utama. Dari segl ini, proyek itu adalah upaya sederhana membawa rakyat Indonesia kembali ke dalam sejarahnya sendiri.
Kehidupan sehari-hari dan sumber-sumber audiovisualnya berbelanja di toko di Pasar Baru, Jakarta. Sebuah simpang dijalan di Payakumbuh, Sumatra Barat. Jalan desa Kawal di Pulau Bintan. Pasar di Bittuang di Tana Toraja, Sulawesi. Stasiun kereta api dan terminal bus di
Surabaya. Senam pagi di Bittuang. Upacara Pengibaran di sekolah dasar di Sintang, Kalimantan Barat. Jumatan di Kawal. Pembuatan alat-alat dapur di Delanggu, Jawa Tengah. Wawancara dengan seorang politisi setempat di Payakumbuh. Seorang penyapu jalan di Jakarta. Arsitek tradisional di Bittuang. Seorang murid perempuan di Sintang. Apa persamaan seluruh gambar ini? Semuanya contoh rekaman film (fragmen) kehidupan sehari-hari di Indonesia, Gambargambar ini membentuk substansi sebuah arsip audiovisual kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad ke-21. Dibuat baru-baru ini atas prakarsa KITLV bekerja sama dengan Off Stream Films di Jakarta. Proyek ambisius ini bertepatan dengan semakin besamya minat terhadap sejarah kehidupan sehari-hari dan upaya sejarawan menekankan relevansi data visual, Pada tahun 2004 Program Sephis (South-South Exchange Programme for Research on the History of
Development) mengadakan lokakarya " Visual Sources as Alternative History" dan pada tahun
2005 Institute for Historical Studies dari University of Michigan, menghasilkan program "History and the Visual" untuk menggali hakikat dan peran gambar dalam pemahaman sejarah. Apa artinya dan apa yang ditambahkannya kepada matriks analisis kita? Perhatian yang besar pada gambar seperti itu tidak saja menyiratkan adanya minat menggali perangkat baru data visual, tetapi juga menyiratkan tantangan bagi kita untuk membentuk konsep kategori baru analisis. Dengan kata lain, ada kesadaran bersama pentingnya gambar dalam sejarah, terutama dalam kaitan dengan upaya menangkap kehidupan sehari-hari, Namun, masih terlalu dini untuk merumuskan jawaban. Paling tidak karena pertanyaan sebagian besar belum dikemukakan. Dengan demikian kita menjelajahi bidang yang kategori analisis dan pertanyaan-pertanyaannya masih sedang dirumuskan.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Buku ini berisi berbagai tulisan yang sangat direkomendasikan untuk semua kalangan bagi bangsa yang ingin mengenal orisinalitas bangsanya sendiri. Bahasa yang disajikan pun mudah untuk dimengerti, Adapun satu-satunya kelemahan buku ini adalah kurangnya ilustrasi ataupun foto dari peristiwa yang dikaji hingga fakta terkini yang sedikit kurang up-to-date. Kesimpulan akhir, buku ini dipercaya dapat menggugah kembali selera membaca masyarakat dan sebuah terobosan terbaru dalam sejarah Indonesia.