Opini

Upaya Atasi Kemiskinan di Bengkalis

Oleh : H. Azmi Rozali, S.IP., M.Si *

BENGKALIS (MR) - banyak yang terkejut ketika pertama kali saya mengangkat soal kemiskinan di kabupaten Bengkalis. Sejak otonomi daerah berlaku tahun 2000 di negeri ini, nama kabupaten Bengkalis selalu diidentikkan sebagai kabupaten “kaya”, bahkan dikatakan terkaya nomor dua se Tanah Air, sebuah perkataan yang mengambil sandaran data entah darimana.

Melalui artikel ini saya mengajak kita semua bicara tentang kemiskinan di “kabupaten kaya” itu. Kemiskinan di Kabupaten Bengkalis berada di angka 6,98 % pada tahun 2015 dan 7,35 % di tahun 2016. Jika penduduk kabupaten ini berjumlah 516.348 jiwa, maka jumlah orang miskin adalah sebanyak 37.951 orang. Tentu saja ini adalah angka yang harus mendapat perhatian yang serius.

Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di kabupaten yang dipimpin oleh Amril Mukminin ini berada di angka 7,11 % pada tahun 2015 dan 7,88 % pada tahun 2016. Artinya setiap 100 orang penduduk usia kerja, ada 7 orang yang menganggur. Jumlah penduduk usia kerja di kabupaten Bengkalis adalah 257.808 (data tahun 2014), sehingga jumlah pengangguran adalah sebesar 18.819 orang.

Pertanyaan kita adalah mengapa tingkat kemiskinan di kabupaten Bengkalis tergolong tinggi?  Saya coba menelusuri masalah ini dengan menggunakan pendekatan kebijakan birokrasi. Namun tidak semua kantor saya teliti. Hanya mengambil satu sampel, yaitu dinas yang berhubungan dengan ekonomi masyarakat, yaitu Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah yang memperoleh alokasi dana sebesar Rp.12 miliar tahun 2017 ini.

Setelah menelurusi dokumen rencana kerjanya, ternyata program dinas ini yang bersentuhan langsung dengan masyarakat hanyalah 15 %, dan yang menyentuh kepada upaya mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran hanyalah Rp.190 juta. Selebihnya adalah dana yang “habis di perjalanan”. Maksudnya adalah dana yang seharusnya jadi milik masyarakat, tapi dalam perjalanannya sangkut di tangan birokrasi.  Saya selalu menyebut fenomena ini dengan istilah: birokrasi mengidap penyakit autis, yaitu ketika birokrasi hanya memikirkan dirinya sendiri, jauh dari persoalan masyarakat.

Baiklah kita hentikan bicara soal kinerja birokrasi. Sekarang bagaimanakah konsep penulis untuk menjawab dua masalah besar: kemiskinan yang 7,35% dan pengangguran yang 7,88%, di Kabupaten Bengkalis? Saya menamakan konsep ini dengan sebutan: upaya mengatasi kemiskinan dan pengangguran dengan menggunakan pendekatan pertanian terintegrasi. Maksudnya produksi hasil pertanian diintegrasikan dengan perdagangan, sehingga berkaitan erat dengan upaya pemasaran dan promosi.

Setiap desa diarahkan agar menetapkan status dirinya sebagai sentra produksi komoditas tertentu, bidang pertanian, perkebunan, industri maupun perikanan. Satu desa berfokus pada satu komoditas untuk ditanami bersama atau diusahakan bersama. Misalnya desa Lubuk Garam di Kecamatan Siakkecil, setelah melalui musyawarah desa, menetapkan dirinya sebagai sentra produksi tanaman kelapa di kabupaten Bengkalis.

Dengan demikian dinas-dinas yang berhubungan dengan pengembangan ekonomi masyarakat, seperti dinas pertanian peternakan dan perkebunan berupaya membuat program bantuan bibit kelapa dalam jumlah yang cukup sehingga satu keluarga memiliki 30 hingga 50 batang dan pelatihan cara menanam dan pemeliharaan tanaman kelapa.

Sejalan dengan itu Dinas Koperasi UMKM pun membuat program pelatihan keterampilan usaha kelapa bagi masyarakat Lubuk Garam serta bagi desa-desa yang menetapkan tanaman yang serupa. Sedangkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan diarahkan untuk membuat program promosi bekerjasama dengan radio, televisi, suratkabar serta media online, bahwa siapapun di provinsi Riau / provinsi tetangga yang mau mencari buah kelapa, sabut kelapa, lidi kelapa, tempurung kelapa ataupun batang kelapa, dapat mencarinya di desa Lubuk Garam serta menjelaskan dimana lokasi desa tersebut serta nomor telephon petani / pelaku usahanya.

Demikian pula apabila sebuah desa menetapkan status dirinya sebagai sentra produksi komoditas perikanan. Maka dinas perikanan dan kelautanlah yang menjadi leading sektornya. Dinas Koperasi UMKM membuat pelatihan dan Dinas Perindustrian & Perdagangan mempromosikan. Dengan memperjelas status desa sebagai sentra produksi komoditas tertentu akan mempermudah para pengambil kebijakan, baik di tingkat kabupaten, provinsi maupun kementerian di pusat, untuk memikirkan pengembangan ekonomi rakyat serta membuat program untuk mewujudkannya.

Saya rasa kita dapat memulai kerja nyata ini secara sederhana. Kalau APBD tahun 2017 sudah disahkan, okelah, maka kita akan mulai dari tahun 2018 dengan mengubah cara pandang kita terhadap musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang saat ini sedang berlangsung, baik tingkat desa maupun tingkat kecamatan. Musrenbang setidaknya harus dapat menjawab 5 dari 10 masalah yang terbaca dalam indikator ekonomi makro : pertumbuhan ekonomi yang hanya 6,84%, inflasi yang relatif tinggi 6,53%, pendapatan perkapita yang hanya Rp.7.671.885 pertahun, tingkat pengangguran 7,88% dan tingkat kemiskinan 7,35%.

Untuk menjadikan masyarakat kita sejahtera, tidak harus menunggu dana yang besar. Dengan anggaran yang wajar dan program yang tidak terlalu muluk, kita dapat berbuat secara nyata, tanpa harus menempuh jalan panjang seumpanya menjadikan sebuah kecamatan menjadi “kawasan industri” yang entah kapan status lahannya dapat diubah dari penetapan saat ini sebagai kawasan hutan. Mari berbuat secara nyata dan berhenti berbicara sesuatu yang tidak dapat dikerjakan.

*Penulis adalah anggota DPRD Kabupaten Bengkalis 3 periode (2004-2019). Saat ini sedang menyelesaikan disertasi untuk program doktor ilmu politik di Universitas Nasional, Jakarta.*** (halloriau)




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan