Daerah

Aroma Sabun dan Kenangan Laut

Foto: Istimewa

MONITORRIAU.COM - Saat matahari baru naik di Kelurahan Tanjung Palas, Dumai, udara pesisir masih lembap, membawa aroma asin laut yang samar-samar bercampur dengan wangi sabun. Cahaya pagi menembus sela-sela papan rumah bercat hijau muda, menyentuh deretan seragam biru berlis putih dan merah yang bergoyang pelan di tali jemuran.

Dari dalam bangunan kecil bertuliskan Bertuah Laundry, terdengar dengungan mesin cuci yang berpacu dengan tawa beberapa lelaki. Di antara mereka, seorang pria empat puluh tahun bernama Risman tampak tekun menggosok pakaian dengan setrika uap. Tangan kasarnya bergerak hati-hati, seolah setiap lipatan kain punya cerita sendiri.

“Dulu tangan ini pegang jaring dan dayung,” katanya sambil tersenyum tipis. “Sekarang pegang pakaian bersih.”

Udara di ruang itu hangat dan beruap, tapi bukan oleh panas matahari, melainkan oleh semangat yang perlahan berubah wujud dari nelayan menjadi pengusaha kecil.

Sebagian besar hidup Risman dihabiskan di laut. Ia adalah seorang ngokang, sebutan bagi nelayan pesisir Dumai yang menjajakan makanan, rokok, dan buah-buahan ke kapal-kapal besar yang berlabuh di perairan.

Dari jauh, mereka mendayung perahu kecil mendekati kapal raksasa, memanggil dengan suara serak yang bercampur harap.

Transaksi mereka unik, kadang dibayar tunai, kadang dengan barang besi tua, drum rusak, atau peralatan kapal bekas.

“Dulu kalau dapat besi, bisa dijual lagi. Cukup buat makan anak-istri,” kenangnya.

Namun pada 2018, segalanya berubah. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 819 Tahun 2018 menetapkan zona labuh baru di Pelabuhan Dumai. Daerah yang dulu menjadi “halaman” kehidupan mereka kini berubah menjadi wilayah terbatas.

“Dulu bisa tiga kapal sehari. Sekarang, jangankan naik kapal, mendekat pun tak boleh,” ujar Risman pelan.

Peraturan itu bukan hanya mengubah peta laut, tapi juga peta hidup mereka. Satu per satu kawan kehilangan arah: ada yang jadi buruh, ada yang pulang kampung, dan banyak yang menganggur. Laut yang dulu menjadi sumber kehidupan mendadak terasa asing.

Suatu sore, di tengah kebingungan itu, datang kabar dari darat. PT Kilang Pertamina Internasional (PT KPI) Refinery Unit II Dumai melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menawarkan pendampingan bagi kelompok nelayan Barter Jaya.

“Awalnya kami ajukan budidaya lele,” kata Risman, tersenyum saat mengingatnya. “Tapi setelah dikaji, katanya kurang cocok. Malah disarankan buka laundry. Kami tertawa masa bapak-bapak buka laundry?”

Namun, tawa itu kemudian berubah jadi kesungguhan. Dengan bimbingan tim CSR Pertamina, mereka belajar dari nol. Mereka menamai usahanya Bertuah Laundry, sebuah nama yang menjadi simbol harapan baru warga pesisir Dumai, bahwa keberuntungan bisa dicuci, dijemur, dan dijemput kembali dengan kerja keras.

Pertamina tak sekadar memberi alat dan mesin cuci. Mereka menurunkan tim pendamping untuk mengajari para mantan nelayan mencuci secara efisien, mengatur keuangan, hingga memproduksi sabun ramah lingkungan dari rumput teki merupakan tanaman liar yang tumbuh di sekitar kampung.

Risman mengangkat botol sabun cair berlabel Eco Wash Bertuah. “Ini sabun buatan kami sendiri. Bahan dari alam, ramah lingkungan, dan lebih hemat,” ujarnya dengan bangga.

Perjalanan mereka tidak selalu mudah. Bulan-bulan pertama terasa berat, pelanggan masih sedikit, pendapatan pas-pasan, mesin cuci sempat rusak.

“Waktu itu, sebulan kami cuma dapat dua ratus ribu per orang,” kenang Risman. “Tapi kami sepakat, jangan mundur. Laut sudah menutup pintu, darat harus kita buka.”

Kini, berkat ketekunan dan pendampingan berkelanjutan, omzet kelompok meningkat pesat dari sekitar Rp2 juta menjadi hampir Rp9 juta per bulan. Rumah sederhana di pinggir gang itu kini tak pernah sepi: pakaian rumah tangga, seragam sekolah, hingga laundry dari kantor-kantor sekitar kilang datang silih berganti.

Terpisah, Agustiawan, Area Manager Communication, Relations & CSR PT KPI RU II Dumai, mengamati foto-foto dokumentasi program. “Kami tidak ingin sekadar memberi bantuan,” ujarnya. “Kami ingin membangun kemandirian.”

Menurutnya, Bertuah Laundry adalah contoh nyata dari pembangunan berbasis penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood) di mana warga pesisir dibimbing agar mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan ekonomi.

“Mereka dulu bergantung pada pasang surut laut. Sekarang, mereka menentukan ritme hidupnya sendiri,” tambahnya.

Tahun 2025, program ini berkembang ke arah yang lebih luas. Pertamina menghadirkan pelatihan baru, cuci sepatu profesional, menggandeng Zyqro Milid Fomandes, pelaku usaha lokal di bidang shoe care.

“Jasa cuci sepatu punya potensi besar,” kata Zyqro. “Dan yang mereka lakukan ini sejalan dengan konsep ramah lingkungan—merawat sepatu berarti memperpanjang umur pakainya, mengurangi limbah fashion.”

Para peserta tak hanya belajar teknik pencucian dan perawatan bahan, tapi juga strategi layanan dan pemasaran. Pelatihan ini membuka cakrawala baru bagi kelompok Barter Jaya. “Sekarang pelanggan kami nanya, bisa cuci sepatu juga, kan?” ujar Risman sambil tertawa kecil.

Untuk memperkuat usaha, mereka mendirikan Koperasi Barter Jaya Maju yang kini telah resmi terdaftar di Dinas Koperasi. “Dengan koperasi, mereka bisa lebih mandiri, tertib, dan berdaya saing,” jelas Agustiawan.

Apresiasi dari Wali Kota Dumai, H. Paisal, SKM, MARS, yang menilai inisiatif tersebut sebagai langkah strategis dalam membangun martabat warga pesisir.

“Saya sangat mengapresiasi langkah Pertamina. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal martabat,” katanya.

Ia menegaskan, Pemerintah Kota Dumai siap mendorong replikasi program serupa di kawasan pesisir lainnya. “Kita ingin semangat ini menular. Warga pesisir Dumai punya daya juang luar biasa, mereka hanya perlu didampingi dan diberi kepercayaan,” ujar Paisal.

Menurut Paisal, Pemerintah Kota Dumai berencana memperluas program ini ke wilayah pesisir lain. “Warga kita punya daya juang luar biasa. Mereka hanya butuh peluang dan pendampingan,” katanya.

Program Green Laundry merupakan bagian dari Program Bedelau Minapolitan inisiatif CSR Kilang Pertamina Dumai yang fokus pada pemberdayaan masyarakat pesisir. Disebut green karena menggunakan sabun alami dari rumput teki buatan sendiri.

Kini, pendapatan kelompok mencapai Rp8 - 9 juta per bulan, meningkat tajam dibanding awal berdirinya. Lebih dari sekadar bisnis, Green Laundry telah menjadi contoh konkret bagaimana kolaborasi antara perusahaan dan masyarakat bisa menciptakan solusi ekonomi yang berkelanjutan, sekaligus mendukung agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Menjelang sore, matahari mulai merunduk di balik atap seng. Di halaman kecil itu, seragam biru berlogo Pertamina bergoyang lembut ditiup angin. Di dalam, suara dengung setrika berpadu dengan tawa ringan.

Risman melipat pakaian terakhir hari itu, lalu menatap keluar jendela ke arah laut yang tampak jauh namun masih akrab di hatinya. “Dulu kami bilang, rezeki itu di laut,” katanya pelan. “Sekarang kami tahu, asal mau berusaha, darat pun bisa memberi laut yang baru.”

Udara sore membawa aroma sabun yang segar, menggantikan bau solar yang dulu melekat di kulit mereka. Dan di tengah riuh dunia yang terus berubah, Bertuah Laundry berdiri sebagai pengingat kecil bahwa harapan manusia bisa tumbuh di mana saja asal ia dijaga, seperti pakaian yang dicuci dengan hati-hati, lalu dijemur di bawah cahaya yang tak pernah benar-benar padam. (*) 

 

Penulis: Ganda Jaya Siregar




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : redaksimonitorriau@gmail.com
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan