Nasional

Tahukah Kamu Kenapa 22 Oktober Ditetapkan Sebagai Hari Santri

MONITORRIAU.COM - Pemerintah telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Penetapan ini sebagai ‘pelunasan’ janji kampanye Jokowi saat kampanye Pilpres 2014 lalu, yang menjanjikan penetapan khusus Hari Santri. Tapi mengapa Hari Santri mengambil tanggal 22 Oktober? Ada kejadian penting apa sehingga tanggal tersebut menjadi dasar penetapan Hari Santri? Relevankah kejadian di tanggal tersebut dipakai sebagai alasan penetapan Hari Santri? Mengapa bukan tanggal lain?

Jawaban pertanyaan tersebut tentu beraneka ragam, terutama penetapan tanggal 22 Oktober yang konon mendapat keberatan beberapa kalangan (bahkan pemberian Hari Santri sendiri ada yang keberatan). Namun terlepas dari kontroversi itu, di sini disajikan kejadian penting 22 Oktober yang ditulis dari berbagai sumber.

Resolusi Jihad

Resolusi Jihad Rois Akbar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari yang diterbitkan pada tanggal 22 Oktober 1945 merupakan salah satu dari momen penting perjuangan bangsa Indonesia, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang berujung paa pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, yang kemudian diperingati menjadi Hari Pahlawan.

Masyarakat Surabaya memiliki semangat luar biasa heroic dalam perang mempertahankan kemerdekaan, dimana hampir seluruh masyarakat Surabaya dan sekitarnya saat itu ikut andil dalam pertempuran. Semangat masyarakat yang luar biasa tersebut dilatar belakangi karena adanya Resolusi Jihad NU yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.

Rentetan sejarah hingga terjadinya pertempuran 10 November 1945 di Kota Surabaya, diawali saat pasukan Inggris mendarat di Jakarta pada tanggal 15 september 1945, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Sebelumnya pada tanggal 31 Agustus 1945 pemerintah Indonesia telah mengeluarkan maklumat yang menetapkan mulai tanggal 1 September 1945 dilakukan pengibaran bendera nasional Sang Saka Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia.

Gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok penjuru tanah air tidak terkecuali di Kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan No. 65 Surabaya.

Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dan atas nama Blok Sekutu dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang serta memulangkan tentara Jepang. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.

Pada kesempatan itu NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris dengan tujuan untuk menguasai kembali wilayah Indonesia setelah Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Hadirnya NICA kembali ke Indonesia bersama pasukan Inggris tersebut menjadi pemicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana untuk melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Tawuran massal

Awal Oktober 1945 tentara jepang merebut kembali Kota Semarang dan Bandung dan menyerahkan kepada Inggris. Ketika itu terjadi, Pemerintah RI terkesan tidak melakukan perlawanan dan bahkan membiarkan bendera Belanda berkibar kembali di Jakarta.

Melihat gelagat yang terjadi, NU dengan cepat mengambil inisiatif untuk mengumpulkan konsul-konsul di Jawa dan Madura pada 21 Oktober 1945 di Kantor PB ANO Jl. Bubutan VI / 2 Surabaya. Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar paham betul jika tidak segera dilakukan tindakan maka Surabaya juga akan jatuh ke tangan Inggris dan NICA. Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH. Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama Resolusi Jihad Fii Sabilillah.

Isi seruan jihad tersebut adalah “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”

Seruan untuk berjihad fii sabilillah inilah yang menjadi pemicu perang massa (Tawuran Massal) pada tanggal 27 – 29 Oktober 1945. Para Kiai waktu itu sangat memahami akan adanya invasi yang akan dilakukan oleh Belanda untuk merebut kembali Indonesia. Saat itulah, arek-arek Surabaya yang dibakar semangat jihad menyerang Brigade ke – 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby. Hasilnya, lebih dari 2.000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewas, Sang Brigadir Jenderal, A.W.S. Mallaby juga tewas akibat ditembak menggunakan pistol oleh seseorang yang sampai saat ini tidak diketahui identitas sang penembak dan kemudian mobil yang ditumpangi dilempar granat.

Perang Massa (Tawuran Massal) tanpa komando yang berlangsung selama tiga hari yang mengakibatkan kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby itulah yang memicu kemarahan Inggris yang berujung pada pecahnya pertempuran besar Surabaya 10 November 1945 yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Jeda waktu dari tanggal 22 Oktober ke 27 Oktober adalah 5 hari, rentang waktu tersebut dimanfaatkan oleh para Kiyai dan santri untuk melakukan sosialisasi dan konsolidasi dalam mempersiapkan pertempuran. Pertempuran yang dimaksud adalah perang massa dari tanggal 27 s/d 29 Oktober 1945.

Pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris. Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Jika dilihat dari gambaran terjadinya pertempuran pada 10 november 1945 dan dari tokoh yang dijadikan sebagai simbol pergerakan pada saat itu maka dapat disimpulkan bahwa besarnya animo dan tingginya partisipasi masyarakat Surabaya untuk ikut berperang dalam mempertahankan kemerdekaan karena adanya kekuatan pengaruh yang luar biasa untuk menggerakkan semangat juang itu. Surabaya merupakan kota santri sehingga tentu saja para Kiayi memiliki peran sentral untuk melakukan intervensi yang sangat kuat kepada para santri dan masyarakat sekitar Surabaya.

Intervensi yang dimaksud adalah adanya Resolusi Jihad NU (22 Oktober 1945) yang mewajibkan bagi setiap orang baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, terlatih sebagai militer ataupun tidak untuk ikut berperang melawan Belanda yang berada pada radius 94 KM dari lokasi berlabuh dan tempat-tempat yang diduduki oleh penjajah atau menjadi target agresi militer belanda. Tanpa adanya Resolusi Jihad NU, bisa jadi perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia akan dengan mudah dikalahkan.

Itulah rentetan peristiwa lahirnya Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945 yang kemudian menjadi latar belakang terjadinya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dan oleh pemerintah atas usulan dari ormas keagamaan dengan dipelopori oleh PBNU ditetapkan sebagai Hari Santri.***

 

Sumber: banyumasnews.com




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan