Hukrim

Polemik Jerat Pidana untuk Pengguna Layanan Prostitusi Online

Ilustrasi
MONITORRIAU.COM - Penangkapan Cassandra Angelie terkait kasus prostitusi online di sebuah hotel mewah menyisakan desakan agar kepolisian turut menjerat para konsumen pengguna jasa pelacuran.
 
Polda Metro Jaya menganggap desakan itu berlebihan. Polisi hanya menyinggung ada beberapa publik figur yang masuk dalam daftar muncikari Cassandra, namun tak bisa mengungkapnya 'karena menyangkut kehormatan seseorang'.
 
Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Nathalina Naibaho, menjelaskan bahwa pengguna jasa prostitusi atau pelacuran online tidak dapat diancam pidana.
 
Sebab, menurut dia, tidak ada peraturan yang dapat dijadikan dasar hukum untuk menghukum pengguna layanan seksual dengan modus prostitusi online tersebut.
 
"PSK [Pekerja Seks Komersial] atau orang yang menggunakan jasa prostitusi tidak dapat diancam dengan pidana karena perbuatan ini masuk dalam kategori victimless crime atau kejahatan tanpa korban," ujar Nathalina dalam tulisannya di Hukum Online dan sudah diizinkan untuk dikutip, Senin (3/1).
 
Ia menerangkan dalam kegiatan prostitusi tidak bisa ditentukan siapa pelaku dan siapa korban. Kecuali, lanjut dia, hubungan seksual dilakukan dengan paksaan baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, atau tipu daya yang membuat seseorang terjerat dalam praktik prostitusi, atau jika pengguna layanan melakukannya dengan anak di bawah umur.
 
"Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dihukum karena melakukan perkosaan, perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual, perbuatan cabul atau pelacuran anak," terang dia.
 
Nathalina menambahkan, dalam konteks prostitusi online, PSK ataupun pengguna layanan bukan dipidana atas perbuatan hubungan seksual, melainkan dipidana dengan sangkaan menyebarkan konten yang melanggar kesusilaan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
 
"Dan karena sifatnya yang demikian, maka perilaku dalam praktik prostitusi online yang dianggap melanggar UU ITE bisa diancam hukum pidana," imbuhnya.
 
Perbuatan yang memiliki muatan melanggar kesusilaan itu akan dikenakan ancaman pidana seperti yang terdapat dalam Pasal 45 ayat 1 UU ITE dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
 
Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menyatakan jika mendasarkan pada KUHP, prostitusi hanya dapat menjerat muncikari selaku pihak yang 'memudahkan' atau memfasilitasi kegiatan.
 
Ia menjelaskan aktivitas hubungan seksual bisa diancam pidana apabila pengguna layanan seksual adalah laki-laki atau perempuan yang telah mempunyai suami atau istri. Itu bisa dikenakan delik zina sebagaimana ketentuan Pasal 284 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 9 bulan.
 
"Iya, itu dipakai Pasal perzinahan, tapi itu merupakan delik aduan," ucap Agustinus.
 
Mengutip situs BPSDM Hukum dan HAM Kemenkumham, selain diatur dalam UU, sanksi terhadap pihak yang terlibat dalam prostitusi online juga diatur dalam peraturan daerah (Perda) masing-masing. Misal di Perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
 
Pada Pasal 61 ayat (2) Jo Pasal 42 ayat (2) huruf a dan c, memberikan sanksi bagi setiap orang yang menjadi penjaja seks komersial, dan bagi setiap orang yang memakai jasa penjaja seks komersial dengan sanksi pidana, berupa pidana kurungan paling singkat 20 hari dan paling lama 90 hari atau denda paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp30 juta.
 
Komnas Perempuan telah mendesak kepolisian untuk mengungkap dan menjerat konsumen dari artis Cassandra Angelie yang terjerat kasus prostitusi online.
 
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes E Zulpan merespons desakan tersebut dengan mengatakan bahwa polisi dalam kasus ini tetap merujuk pada KUHP, UU Pornografi dan Porno Aksi, serta UU ITE.
 
"Terlalu berlebihan Komnas Perempuan me-refer UU human trafficking. Apa yang dilakukan oleh artis CA dengan konsumennya adalah urusan yang bersifat personal di mana hukum tidak bisa masuk ke wilayah yang sifatnya privat," terang Zulpan.
 
Anggota Komisi Hukum DPR RI, Arsul Sani, menyatakan pihaknya kini dalam proses penggodokan regulasi pidan bagi para pelaku tindak pidana prostitusi, baik produsen dan konsumen.
 
Arsul tak menutup kemungkinan pihaknya memasukan pasal yang bisa menjerat produsen dan konsumen prostitusi dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di waktu mendatang.
 
"RKUHP ini belum kita sahkan dan kemudian akan diajukan kembali ke DPR akan kita lihat. Apakah kemudian akan kita buka kembali pembahasan tentang keseimbangan dalam kasus prostitusi," kata Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (3/1).
 
"Kalau ditanya pribadi ke saya, saya setuju ya. Setuju agar prostitusi ini kemudian juga harus tercipta keseimbangan, komprehensif lah jangan satu pihak," sambungnya.
 
Ia mengaku, komisinya pernah menerima usulan agar produsen dan konsumen prostitusi bisa dijerat pidana di tengah pembahasan RKUHP beberapa waktu lalu.
 
Arsul berpendapat, moralitas menjadi tidak jelas bila tindak pidana prostitusi hanya menjerat satu pihak saja yakni produsen.
 
"Karena itulah dalam pembahasan RKUHP di periode lalu kami di Komisi III DPR juga menerima aspirasi agar dalam soal prostitusi dituntaskan ada keseimbangan, ada keadilan. Kalau katakanlah dalam tanda kutip produsennya juga bisa dijerat mestinya konsumennya juga dijerat sebagai sebuah tindakan pidana," kata Arsul.




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan