EDITORIAL

Ancaman Kekerasan Terhadap Wartawan Pelanggaran Demokratisasi Media

Wartawan Senior, Afran Arsan, SE

Monitorriau.com - Ancaman, perlakuan kekerasan terhadap wartawan saat melakukan tugas peliputan peristiwa kerap terjadi di negeri ini, padahal pers merupakan salah satu pilar demokrasi dari empat pilar yang ada.

Artinya pers selaku Kontrol sosial melakukan tugas dan fungsinya saat tiga pilar dianggap mandul atau tidak bekerja sesuai aturan yang telah ditetapkan.Tiga pilar tersebut adalah Eksekutif,Legeslatif dan Yudikatif.

Saat tiga pilar ini dianggap tidak berjalan sesuai dengan aturan yang ada, Pers tampil menyuarakan hati dan nurani keinginan rakyat melalui sebuah pemberitaaan.

Namun sayang saat  melakukan tugas peliputan sering kali wartawan mendapat perlakuan kurang manusiawi mulai dari ancaman hingga perlakuan kekerasan hingga menyebabkan kematian.

Seperti yang baru baru terjadi saat ini di Medan, Array A Argus, salah seorang Wartawan  Tribun Medan mengalami penganiayaan dari oknum TNI Angkatan Udara  Medan saat melakukan liputan aksi demonstrasi warga Sari Rejo beberapa waktu lalu.

Kejadian di atas sangat mengkhawatirkan. 

Ketua Dewan Pers Bagir Manan pernah mengingatkan, kemerdekaan pers di Indonesia saat ini masih dalam ancaman. Katanya, masih ada upaya pembatasan pers melalui sejumlah regulasi. Tak hanya itu, pembatasan terhadap kegiatan liputan masih kerap terjadi.

Sebelumnya, lembaga independen pemantau kemerdekaan pers, Reporters Without Border, melaporkan indeks kemerdekaan pers sebanyak 174 negara dalam kurun waktu 2011-2012. Disebutkan, tingkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi peringkat ke-146. Sebelumnya, pada tahun 2010, peringkat kemerdekaan pers Indonesia masih di posisi- 117.

Ironisnya, institusi TNI/Polri paling banyak berkontribusi dalam penurunan peringkat kemerdekaan pers. Pada tahun 2011, misalnya, terjadi 96 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dan 70 kasus diantaranya berkategori kekerasan fisik. TNI dan Polri menempati peringkat teratas sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis: TNI (11) dan Polri (10).

Padahal, sejak genderang reformasi ditabuh, TNI dan Polri mendaulat diri sebagai lembaga yang turut melakukan reformasi. Dengan demikian, reformasi internal TNI/Polri itu mestinya berbuah “penghargaan yang makin besar terhadap demokrasi”. Salah satunya adalah mengakui kemerdekaan pers.

Kegiatan pers di Indonesia dilindungi oleh hukum, yaitu UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Di situ disebutkan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, tindakan oknum TNI AU di Medan , Sumatera utara , itu telah melanggar kemerdekaan pers secara  nasional.

Parahnya lagi mengekang kemerdekaan pers justru dilakukan oleh oknum politisi di DPRD Inhil, Riau. Oknum anggota DPRD Indra Giri Hilir(Inhil),Maryanto, salah seorang wakil ketua mendatangi rumah salah seorang wartawan akibat merasa tidak senang terkait pemberitaan janji politiknya terhadap konstituen yang mengantarkannya menjadi orang terhormat di kabupaten tersebut Rabu(16/10/2016).

Peristiwa ini mendapat tanggapan serius dari Indra, Ketua Persatuan wartawan Indonesia(PWI) perwakilan Inhil dan mengatakan apayang dilakukan Maryanto tersebut merupakan kemunduran dalam era demokrasi saat ini.

Kenapa aksi kekerasan terhadap jurnalis masih kerap terjadi? Pertama, negara—dalam hal ini rezim berkuasa—masih menganggap pers sebagai ancaman. Tidak sedikit regulasi dirancang untuk membatasi aktivitas pers itu. Misalnya, UU intelijen (2011) yang beberapa pasalnya dianggap mengancam kebebasan pers.

Kedua, negara belum sepenuh hati melindungi kegiatan jurnalisme. Ini terlihat dengan masih seringnya praktek kriminalisasi terhadap pers. 

Di samping itu, pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis masih kurang. Apalagi kalau pelakunya adalah TNI /POLRI dan anggota Legislatif.

Lagi pula, di dalam negara demokrasi, setiap warga negara dijamin haknya untuk mendapatkan informasi. Warga negara juga dijamin kemerdekaannya untuk menyatakan pikiran dan pendapat secara bertanggung-jawab. Tak salah kemudian kalau Bung Hatta menyebut kemerdekaan pers, termasuk kemerdekaan menyatakan pendapat, sebagai kemerdekaan rakyat yang asli, yang tidak boleh dihilangkan dan disia-siakan.

Media dapat dipergunakan untuk mempromosikan demokrasi. Akan tetapi, supaya hal itu bisa tercapai, harus terjadi pula “demokratisasi media”. Media yang dikuasai oleh segelintir elit, yang tujuannya hanya untuk melayani tujuan kapital, tidak bisa diharapkan sebagai instrumen demokrasi. Dalam banyak kasus, mereka lebih banyak menjadi penyebar kebohongan dan memanipulasi kesadaran rakyat.

Karena itu, selain tetap memperjuangkan kemerdekaan pers, kita juga perlu menyerukan “demokratisasi media”. Dengan demikian, setiap warga negara harus diberi ruang yang sama untuk menyebarkan-luaskan informasi, opini, fikiran, dan lain-lain. Kepemilikan media di tangan segelintir elit harus dibatasi.*** (uj)




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan