Antara Aspirasi dan Provokasi: Peran HMI Sebagai Penjaga Nilai Perjuangan
Awal tahun 2025, Indonesia dihadapkan pada krisis multidimensi yang memunculkan gejolak besar di tengah masyarakat. Perlambatan ekonomi global, ketegangan geopolitik, dan kelemahan struktural dalam negeri memicu efek domino: PHK massal, daya beli merosot, dan defisit APBN yang melebar. Stimulus yang digelontorkan pemerintah tak cukup menyentuh lapisan bawah. Ketidakpuasan pun menjalar cepat, dan rakyat merasa terpinggirkan dari prioritas kebijakan negara.
Puncak ketegangan sosial terjadi pada 25 Agustus 2025. Demonstrasi besar-besaran pecah di berbagai kota setelah muncul keputusan kontroversial kenaikan gaji dan tunjangan DPR di tengah penderitaan rakyat . Insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, dalam bentrokan massa aksi dengan aparat menjadi simbol ketidakadilan yang menyulut amarah publik. Namun, di tengah gerakan yang murni memperjuangkan keadilan, terdapat kelompok-kelompok provokator yang menyusup, memanfaatkan situasi untuk menciptakan kerusuhan.
Kerusuhan yang terjadi tidak lagi mencerminkan semangat perubahan, melainkan menjadi ancaman bagi persatuan nasional. Gedung dibakar, fasilitas umum. Dalam kondisi genting ini, muncul kebutuhan akan arah moral dan kepemimpinan yang menjernihkan. Di sinilah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) harus mengambil peran penting sebagai penjaga nilai dan arah perjuangan.
HMI bukan sekadar organisasi mahasiswa, melainkan bagian dari sejarah panjang bangsa ini. Ia lahir bukan dari semangat kemarahan sesaat, tetapi dari komitmen intelektual dan spiritual untuk menjaga keutuhan umat dan bangsa. Maka, ketika massa digerakkan oleh emosi, HMI harus tampil dengan rasionalitas dan kebijaksanaan. Ketika narasi publik dipenuhi provokasi, HMI mesti hadir sebagai penjernih.
Lebih dari sekadar ikut turun ke jalan, HMI memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar gerakan rakyat tetap bermartabat dan tidak terjebak pada destruksi. HMI harus menjadi benteng moral yang mencegah terjadinya konflik yang meluas, memastikan bahwa perjuangan tetap bersih dari kepentingan yang ingin memecah belah. Dalam situasi rawan seperti ini, upaya untuk menjaga solidaritas menjadi sangat penting.
Demonstrasi adalah bentuk aspirasi dalam demokrasi, tetapi perjuangan tidak berhenti di jalanan. Justru tantangan sesungguhnya hadir setelah aksi, bagaimana mendorong perubahan kebijakan, merumuskan narasi alternatif, dan menghadirkan solusi konkret. HMI harus mengambil peran aktif dalam ruang-ruang dialog, diskusi publik, dan pengawalan kebijakan agar aspirasi rakyat tidak berhenti sebagai teriakan semata.
Indonesia hari ini tidak hanya membutuhkan keberanian untuk bersuara, tetapi juga keteguhan menjaga arah dan nilai. Di tengah badai krisis dan provokasi, HMI harus menjadi jangkar moral yang meneduhkan. Karena sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling keras berteriak, tapi siapa yang paling konsisten menjaga persatuan dan nilai. Saat inilah momen HMI untuk menulis sejarahnya sendiri—dengan komitmen, keteguhan, dan arah yang jelas.
M. Iqbal Harmanti Peserta Advance Training (Latihan Kader III) Badko HMI Sumatera Barat
