Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat

Putu Sudiartana Didakwa Terima Rp 500 Juta dan Gratifika

Putu Sudiartana/Foto: Agung Pambudhy (detik.com)

JAKARTA (MR) - Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, I Putu Sudiartana, didakwa menerima uang suap Rp 500 juta dan menerima gratifikasi sebesar Rp 2,7 miliar. Uang suap itu diterima Putu berkaitan dengan pengurusan penambahan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) kegiatan sarana dan prasarana penunjang untuk Provinsi Sumatera Barat pada APBN-P 2016.

"Bahwa terdakwa I Putu Sudiartana selaku penyelenggara negara yaitu selaku anggota DPR RI yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan, menerima hadiah atau janji yaitu menerima hadiah uang sebesar Rp 500 juta dari Yogan Askan dan Suprapto," ucap jaksa penuntut umum KPK dalam surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta pada Rabu (16/11/2016).

Kasus berawal pada bulan Juli 2015 saat Pemprov Sumatera Barat mengusulkan DAK kegiatan pembangunan dan perawatan jalan sebesar Rp 76 miliar dari total anggaran DAK Provinsi Sumatera Barat sebesar Rp 340.854.595.000. Usulan itu ditujukan ke Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Terkait hal itu, tangan kanan Putu yaitu Suhemi menemui Desrio Putra selaku pihak swasta pada Agustus 2015 dengan maksud bahwa dia bisa membantu mengusulkan anggaran DAK itu. 

Suhemi meminta untuk dipertemukan dengan Suprapto selaku Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat.

Desrio lalu menyampaikan hal itu ke Suprapto yang kemudian meminta Suhemi bertemu dengan Indra Jaya selaku Kabid Pelaksana Jalan Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Sumatera Barat. Kemudian mereka mengadakan pertemuan untuk membahas hal itu.

Lalu pada November 2015, Suhemi mempertemukan Suprapto dan Indra Jaya dengan Putu di ruang kerja Putu di DPR RI. Dalam pertemuan itu Suprapto menyampaikan maksudnya yang kemudian disanggupi oleh Putu.

"Terdakwa menyanggupinya bahkan terdakwa memberi masukan agar diusulkan juga anggaran untuk kegiatan pembangunan gedung dan air bersih," ujar jaksa penuntut umum KPK.

Di pertengahan jalan pada Januari 2016, Suprapto memperkenalkan Yogan Askan, seorang pengusaha di Sumatera Barat, kepada Suhemi. Yogan pun bermaksud serupa dan meminta Suhemi mempertemukannya dengan Putu.

"Atas permintaan itu, Suhemi menyampaikannya kepada terdakwa dan terdakwa nenyetujui untuk dilakukan pertemuan," ujar jaksa penuntut umum.

Kemudian pada 10 Juni 2016, Putu bertemu dengan Suprapto, Yogan Askan, dan Indra Jaya di Cafe Pelangi, Hotel Ambhara, Blok M, Jakarta Selatan. Putu mengaku tengah mengusahakan pengalokasian anggaran DAK minimal Rp 50 miliar tetapi Suprapto meminta tambahan agar alokasi anggaran Rp 100 miliar sampai Rp 150 miliar.

"Atas permintaan itu, terdakwa bersedia membantu dan meminta fee atau imbalan sebesar Rp 1 miliar," ucapnya.

Setelah itu, Putu aktif meminta Suhemi menanyakan tentang fee itu ke Yogan Askan dan Suprapto. Kemudian Yogan mengumpulkan uang dari sejumlah pengusaha hingga didapatkan Rp 500 juta.

Uang itu merupakan iuran dari Yogan sebesar Rp 125 juta, Suryadi Halim sebesar Rp 250 juta, Johandri sebesar Rp 75 juta, dan Hamnasri Hamid sebesar Rp 50 juta. Uang itu lalu diberikan melalui Noviyanti selaku staf ahli Putu.

"Selanjutnya Suhemi menghubungi Noviyanti menyampaikan Yogan Askan akan menyerahkan uang sebesar Rp 500 juta dengan istilah kaleng susu 500 kotak," ujar jaksa penuntut umum.

Kemudian untuk penyerahan uang, Yogan bertemu Noviyanti di Bank Mandiri cabang Mal Taman Anggrek pada Juni 2016. Uang 100 juta diberikan melalui transfer ke rekening Ni Luh Putu Sugiani dalam dua kali transfer masing-masing Rp 50 juta.

"Selanjutnya pada tanggal 27 Juni 2016, Yogan mentransfer uang kekurangan sebesar Rp 400 juta ke beberapa rekening," ucap jaksa penuntut umum.

Uang yang ditransfer itu terbagi menjadi 3 bagian. Pertama Rp 50 juta ke rekening Muchlis, Rp 150 juta ke rekening Djoni Garyana, Rp 200 juta ke rekening Ni Luh Putu Sugiani.

Atas perbuatannya, Putu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Kemudian pada dakwaan kedua, Putu disangka melanggar Pasal 11 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Gratifikasi Rp 2,7 Miliar

Selain itu, jaksa penuntut umum juga mendakwa Putu menerima gratifikasi sebesar Rp 2,7 miliar. Gratifikasi itu salah satunya diberikan oleh Salim Alaydrus melalui Noviyanti secara tunai di Stasiun Pasar Turi Surabaya sebesar Rp 2,1 miliar pada 30 September 2014.

"Masih di bulan yang sama, terdakwa juga menerima pemberian uang dari Mustakim sebesar Rp 300 juta yang ditransfer secara bertahap masing-masing sebesar Rp 100 juta ke rekening atas nama Muchlis, suami Noviyanti," ucap jaksa penuntut umum.

Lalu pada Mei 2016, Putu kembali menerima uang dari Ippin Mamonto sebesar Rp 300 juta. Total uang itu Rp 2,7 miliar diduga sebagai gratifikasi berkaitan denga jabatan Putu sebagai anggota DPR RI.

Namun Putu telah menggunakan sebagian uang itu yaitu sebesar Rp 375 juta dan ditukarkan dalam bentuk dolar Singapura sebanyak SGD 40.000. Uang itu ditemukan KPK ketika menangkap Putu.

Putu didakwa melanggar Pasal 12 B Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.*** (detik.com)




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan