Nasional

Cerita Pemudik Kelabui Petugas hingga Tersasar di Jalur Tikus

MONITORRIAU.COM - Pemerintah terus menggaungkan larangan mudik guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengambil kebijakan larangan mudik berlaku untuk semua golongan masyarakat tanpa terkecuali.

Meski begitu, masyarakat masih nekat melanggar larangan itu, terhitung sejak 24 April hingga 2 Mei 2020, polisi lakukan penindakan dengan memutar balik kendaraan roda dua 858 unit, roda empat pribadi 1.326 dan angkutan umum 314 unit.

"Total 2.498 kendaraan. Itu kendaraan mayoritas dari arah Barat (Jakarta) sebagian dari Timur (Jateng)," kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol S. Erlangga, saat dihubungi via sambungan telefon, Minggu (3/5/2020).

Tak sedikit juga dari mereka yang lolos dari pemeriksaan polisi dengan menggunakan jalur tikus, untuk sampai di kampung halaman. Seperti yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya. Polisi menghentikan satu mobil pribadi yang berisi empat orang pemudik dari Jakarta dengan tujuan Sukaraja. Alhasil sopir dan empat orang pemudik itu, harus menjalani karantina. Kemdaraannya pun diamankan.

Modusnya, mobil pribadi itu digunakan sebagai kendaraan travel. Pengemudi mobil, menawarkan ongkos Rp400.000 per-orang, untuk mengantarkan ke tempat tujuan.

"Rute yang dilalui travel gelap di antaranya dari Jakarta melalui Tol dan keluar pintu Tol Buah Batu, kemudian menggunakan jalan tikus Cileunyi selanjutnya ke Nagreg, Malambong Ciawi, Cisinga dan diamankan di Pos Check Point Batu Nungku," katanya.

Jalur masuk ke Jawa Barat dari Jakarta, memang dapat dilalui menggunakan jalur tikus yang kerap lengah penjagaannya. Beberapa titik jalur alternatif, seperti jalur Karawang, Bogor, Depok, Sukabumi, dapat dilintasi karena penjagaannya pun terbilang minim.

Tersasar di Jalur Tikus

Seperti yang dilansir dari BBC, seorang pekerja asal Jakarta nekat mudik ke kampung halamannya di Jateng. Ialah Budi, bukan nama sebenarnya, bersama istri dan dua anaknya berangkat dari rumah di daerah selatan Jakarta sekitar pukul tujuh malam.

Untuk mengindari petugas, ia pun berangkat malam. Sempat dihentikan kendaraannya saat melintasi pos pemeriksaan di Cikarang.

Mobil Budi diperiksa, dan ditanya tujuannya oleh petugas dan alasan keluar dari wilayah Jabodetabek. Budi menjawab mau mengunjungi saudara yang sakit di Cirebon dan akan keluar di pintu tol Brebes.

Ternyata, ia tidak bisa membuktikan alasannya sehingga ditolak dan harus putar balik.

Budi pun menghubungi temannya yang bekerja di perusahaan jasa transportasi, yang menyarankan keluar pintu tol Bekasi Timur untuk kemudian menggunakan jalur tikus dari Babelan, Karawang hingga Cirebon.

"Pas lewat Babelan, sekitar jam 10 malam itu, ternyata ada penjagaan namun tidak seketat di Cikarang. Saya ditanya mau kemana? Saya lobi-lobi, bilang ke Cirebon mau jemput orang tua untuk kembali ke Jakarta karena tidak mungkin naik bus yang sudah tidak beroperasi lagi dan rawan kontaminasi.

"Lalu dicek suhu, disemprot disinfektan semuanya, dan dipersilakan jalan, dan diminta hati-hati karena perjalanan di depan akan sepi dan rawan," katanya

"Tidak ada saya kasih uang dan tidak ada minta uang. Mungkin mereka kasihan lihat anak saya dua dan istri tidur," kata Budi.

Setelah lolos, Budi dengan keyakinan dan iman yang kuat memacu mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi hingga tiba di Karawang lalu masuk jalur tikus lagi dan akhirnya tiba di Semarang.

"Sepi, hanya beberapa mobil dan mungkin penduduk asli. Saya tidak tahu di mana, ikuti jalan saya, gelap sekali jalannya, dan tengah malam pula. Saya tanya-tanya orang-orang yang nongkrong mau ke sini lewat mana, ya seperti negeri antah berantah,"

"Saya baru tahu ada dimana itu waktu tiba di Semarang, sekitar jam 2-3 malam. Nah di Semarang saya kena lagi, plat mobil Jakarta pula. Untung saya tahu jalan saat ditanya karena keluarga istri saya tinggal di Banyumanik. Saya bilang rumah mau pulang ke rumah di Banyumanik, dan saya lolos. Sulit kalau tidak tahu daerah dan tidak bisa lobi, akan ketahuan," ungkap Budi.

Setelah lolos, Budi kembali memacu mobilnya menggunakan jalur desa yang sepi melewati Magelang, Yogyakarta dan tiba ke kampung halamannya di suatu daerah di Jawa Tengah.

"Sepanjang jalan ini, banyak pos-pos pemeriksaan, dan petugas berjaga, tapi tidak berdiri di tengah jalan dan memberhentikan mobil. Tidak macet juga. Mungkin itu pas hari keberuntungan saya juga makanya bisa lolos," kata pria yang bekerja sebagai pegawai swasta di Jakarta.

Keberanian Budi dan keluarga melalui jalur tikus yang rawan kejahatan di malam hari tidak lepas dari besarnya tekanan yang dihadapi jika tinggal di Jakarta.

"Pemerintah kalau mau lockdown, rakyat kecil harus diperhatikan, kami jika bertahan di Jakarta akan menderita," ungkapnya.

Budi yang berusia 34 tahun itu pun belum tahu kapan akan kembali ke Jakarta. Mereka kini tengah menjalani hidup sementara di kampung halaman di tengah pandemi Covid-19.

Lolosnya Budi, menjadi penjelasan titik lemah penjagaan kepolisian. Disinggung soal masih banyaknya jalan tikus, yang digunakan pemudik nakal, Erlangga mengatakan jajaran telah lakukan pengawasan secara ketat. Ditambah saat ini hampir seluruh wilayah gang-gang desa, jalan pemukiman, diberlakukan karantina parsial.

"Kita lakukan semaksimal mungkin. Jalan-jalan utama saat ini kan juga sudah berlapis, baik dari Polda Metro kemudian Polda Jabar. Termasuk batas jalan Kabupaten dan Kota, yang mana disekat oleh Pos Polres," kata dia.

Masih banyaknya masayarakat yang kurang sadar akan bahaya mudik di tengah pandemi corona ini, memang jadi lah satu masalah utama yang di hadapi.

Padahal, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, mengatakan semakin banyak yang mudik, maka tingkat naiknya (orang) positif Covid-19 juga semakin tinggi.

Emil pun mencontohkan, ada beberapa kasus warga yang positif Covid-19 di Jabar karena dikunjungi oleh pemudik dari zona merah, yakni DKI Jakarta. Dengan contoh kasus itu, ia meminta masyarakat untuk memeriksa apakah tidak ada mudik ke daerahnya.

“(Pasien positif Covid-19) di Ciamis korban (orang) mudik, di Cianjur korban mudik, di Sumedang kepala desa yang tidak ke mana-mana tapi positif Covid-19 (juga) korban mudik," kata dia beberapa waktu lalu.

Untuk itu ia tetap menghimbau masyarakat untuk menunda waktu, untuk pulang kampung atau mudik, saat tengah kondisi darurat kesehatan seperti ini.

“Silaturahmi baik, tetapi mencegah penyakit lebih baik. Silaturahmi bisa ditunda, tetapi mencegah penyakit yang berujung kematian tidak bisa ditunda," katanya.*** (okezone)




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan