Ekonomi

Ayo Tuntaskan Dilema Self Assessment pada Pajak Penghasilan Demi Pembangunan Negeri

Ilustrasi pelaporan pajak dengan menggunakan sistem self assessment

MONITORRIAU.COM - Self Assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk : (1) Berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), (2) Menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang.

Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak dan pelaporan pajak dipercayakan sepenuhnya kepada Wajib Pajak.

Karena sudah dipercayakan kepada Wajib Pajak, maka besarnya pajak terutang tidak tergantung pada adanya ketetapan pajak. Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak (SKP) hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) atau karena kantor pajak menemukan data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Dibalik sistem perpajakan yang terlihat menguntungkan dan memudahkan Wajib Pajak, timbul sebuah dilema. Dilema yang akhirnya membuat sebagian Wajib Pajak tidak ‘mengindahkan’ kepercayaan yang sudah negara berikan.

Pelaporan berdasarkan _self assessment_ sering kali dicurangi dengan memperkecil atau mengurangi nominal dari penghasilan Wajib Pajak yang menjadi dasar pengenaan tarif pajak agar terhindar dari pajak penghasilan yang lebih besar. Hal ini menyebabkan pajak penghasilan yang dilaporkan dan dibayarkan tidak sesuai dengan kondisi _real_ dari penghasilan itu sendiri.

Jika dilihat lebih jauh, pajak penghasilan umumnya memiliki karakteristik progresif yang mana persentase akan naik sebanding dengan dasar pengenaan pajaknya.

Tarif progresif ini sesuai untuk menekan ketimpangan pendapatan yang merupakan akar dari masalah kesenjangan sosial Indonesia. Bagaimana hal itu dapat terjadi ?

Pajak yang dipungut dari penghasilan yang diterima dari setiap wajib pajak, akan digunakan dan dikelola oleh pemerintah untuk pembangunan. Contohnya dengan pembangunan sarana prasarana atau fasilitas umum, puskesmas, rumah sakit, jalan raya, sekolah, jembatan, dan lain-lain. Perwujudan pemberian fasilitas umum ini merupakan bentuk komitmen dan timbal balik dari pemerintah kepada wajib pajak yang telah membayar pajak. Sekecil apapun kontribusi pajak yang kita berikan, pasti akan terasa manfaatnya.

Begitu pun dengan adanya kebijakan tarif pajak progresif yang dipungut kepada masyarakat berpenghasilan tinggi tentunya akan dipungut dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Dengan kata lain ketimpangan dapat diatasi dengan melakukan redistribusi pendapatan yang merupakan  penggunaan perpajakan, belanja pemerintah, dan kontrol untuk mengubah distribusi pendapatan riil diantara populasi. Contohnya dilakukan dengan  mengambil lebih banyak dari orang kaya dan memberi lebih banyak kepada orang miskin. Hal ini sejalan dengan sistem pada tarif pajak penghasilan yang berkarakteristik progresif. Dimana persentase akan semakin tinggi jika dasar pengenaan pajaknya juga tinggi (penghasilan).

Singkatnya begini, melalui pajak penghasilan, sistem perpajakan progresif serta penyaluran bantuan sosial (transfer payment) maka akan terjadi redistribusi pendapatan dari kelompok berpendapatan tinggi (kaya) ke kelompok berpendapatan rendah (miskin).

Namun hal ini tidak mungkin tercapai jika Wajib Pajak tetap melakukan kecurangan dalam pelaporan pajak pengahasilan. Karena pada dasarnya pemupukan kekayaan atau produksi kekayaan yang berlebih tidak akan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Dilema pelaporan dan pembayaran yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya disebabkan oleh paradigma yang sudah melekat pada diri Wajib Pajak. Paradigma tersebut berhasil menyakinkan Wajib Pajak bahwa dengan membayar pajak kita tidak akan mendapat timbal balik apapun atau hanya mendapatkan timbal balik yang bersifat semu. Terlebih pajak yang kita bayarkan berasal dari penghasilan yang kita terima sehingga penghasilan yang kita dapatkan akan berkurang.

Dalam beberapa kasus, paradigma tersebut dapat berdampak pada kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak penghasilan seperti yang telah dijelaskan diatas.

Seperti yang dikatakan oleh Rochmat Soemitro (1998) dalam bukunya Azaz dan Dasar Perpajakan 2, “kepatuhan beralaskan sistem juga mesti dibarengi empat hal pokok, yaitu kesadaran hukum, kejujuran, hasrat bayar pajak, dan disiplin diri wajib pajak”.

Untuk itu, kita sebagai Wajib Pajak harus sadar betul akan kontribusi positif apa yang akan kita berikan kepada negara jika kita patuh dan jujur dalam membayar pajak penghasilan. Kesadaran dan kejujuran inilah yang akan membentuk pribadi patuh bayar pajak dalam diri kita sebagai Wajib Pajak yang baik.

Alasan lain mengapa kita harus jujur dalam pelaporan dan pembayaran pajak penghasilan adalah fakta bahwa ada kebajikan disetiap pajak yang kita bayarkan. Ada kebaikan yang akan kita tebar jika kita jujur dan patuh dalam pelaporan dan pembayaran pajak. Terlebih pajak itu berkaitan dengan pengahasilan atau umat yang beragama islam menyebutnya dengan kata rezeki.

Jika kita mengkaji lebih dalam, maka kita akan teringat dengan sebuah pesan yang berbunyi “Dalam Harta Kita Ada Hak Orang Lain” yang tertuang jelas dalam QS.Adz-Dzariyat : 19 yang berbunyi “Dan harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian”.

Jika kita sebagai Wajib Pajak terus memanipulasi pelaporan pajak penghasilan dengan pembenaran sistem pajak _self assessment_ maka sesungguhnya kita sudah mengingkari ayat Allah SWT dan menghianati sistem demokrasi negara kita. Mengapa hal demikian dapat mengikari demokrasi negara kita ?

Pada dasarnya pajak memiliki prinsip yang sama dengan demokrasi, yaitu dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat. Jika kita sendiri sebagai Wajib Pajak sekaligus rakyat Indonesia tidak mengindahkan sikap kejujuran dalam pelaporan _self assessment_ pada pajak penghasilan yang jelas sangat berkontribusi untuk pemerataan pendapatan, berarti kita selaku Warga Negara Indonesia mengkhianati konsep demokrasi  negeri ini dengan kesadaran penuh.

Untuk lebih memberikan penjelaskan, berikut adalah _study_ kasus yang akan menjabarkan bagaimana setiap kecurangan kecil dalam pelaporan penghasilan yang kita lakukan memberikan dampak negatif terhadap pembangunan negeri ini.

Kita akan mengambil contoh nominal terkecil diatas ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Bapak Andi dengan penghasilan Rp 5.000.000 (TK/0), dan tidak di pungut iuran apapun. Maka perhitungan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (PPh pasal 21) adalah sebagai berikut:

Karena ia menganggap pajak yang yang ia bayarkan tidak akan berkontribusi apapun dan ia tidak mendapat manfaat dari pembayaran pajak tersebut, maka ia memutuskan untuk mengurangi nominal penghasilannya pada pelaporan PPh pasal 21 sehingga penghasilannya dibawah ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan membuatnya tidak akan membayar PPh pasal 21 sebesar Rp 150.000 per tahun.

Jika dalam sebuah kota terdapat 25 orang yang berprinsip seperti bapak Andi maka kota tersebut sudah kehilangan PPh pasal 21 sebesar Rp 3.750.000. Nominal tersebut sudah mengurangi setoran Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Kota ke pusat. 

Dikutip dari situs resmi Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, Indonesia memiliki 514 kabupaten dan kota, jika setiap kabupaten dan kota memiliki rata-rata 25 orang yang berprinsip seperti bapak Andi, maka Negara telah kehilangan pendapatan dari PPh pasal 21 sebesar Rp 77.100.000 per tahun. Dalam kurun waktu 5 tahun maka Negara Indonesia akan kehilangan pendapatan Rp 385.500.000. 

Contoh diatas hanya nominal yang sangat kecil dari perhitungan PPh pasal 21 orang pribadi. Jika perhitungan angka minimum menunjukkan kerugian yang cukup besar, bagaimana dengan kecurangan-kecurangan lain atas pajak penghasilan yang bersifat massif ?.

Sudahkah kita merenungkan hal ini ?, jika kita sebagai Wajib Pajak beranggapan pajak yang kita bayarkan tidak memberikan kontribusi apapun karena jumlah pajak yang kita bayarkan tidak terlalu besar. Lantas dari manakah hal-hal besar itu terjadi ?. Untuk itu, mulai sekarang dan seterusnya ayo terus berkomitmen untuk bersikap jujur jalam pelaporan dengan metode _self assessment_. Mulai dari diri kita sendiri dan tularkan kebiasaan ini kepada Wajib Pajak yang lain, karena berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Disamping itu, Dirjen Pajak sudah memberikan kemudahan pelayanan bagi Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang harus dibayarkannya karena Wajib Pajak tidak perlu datang secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya dalam hal penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

Pelayanan terbaru ini dinamakan _e-filling_ yang diharapkan mampu memberikan layanan prima terhadap masyarakat sehingga dapat meningkatkan kepuasan Wajib Pajak sekaligus dengan penerapan _e-filing_ diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Pajak kuat, Indonesia maju. ***

Penulis: Ayu Andini boru Simarmata (Mahasiswa STIE Tuah Negeri Dumai) 




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan