Bukan Cerita Lucu: Kopi, Jurnalisme dan ODGJ
UDARA di sekitar Jam Gadang Bukittinggi sangat sejuk kendati hari itu, Jumat 29 Agustus 2025 sudah pukul 11.00 WIB dan matahari cukup terik.
Sembari menikmati secangkir kopi, aku bersama-sama rekan PWI Dumai duduk santai di pelataran ikon wisata Provinsi Sumatera Barat diantara pedagang makanan kecil dan UMKM.
"Rokok dulu bang," kata ku sembari mengulurkan On Bold ke Bang Riko Sitompul, dimana kami saat itu berkunjung ke Jam Gadang usai study banding ke kantor PWI Bukittinggi.
Sembari merokok kami ngobrol panjang lebar. Dari masalah keindahan wisata jam gadang, keunikan yang ada di jam tersebut hingga soal remeh-temeh.
Aku, Bang Iman, Bang Zainal, Da Hendri saling ketawa dan bercerita pengalaman-pengalaman dalam berwisata. Om Toy terlalu sibuk dengan kameranya, Rahmat dan Bang Iskosa santai nunggu "polisi toba"nya sedang berbelanja.
Ditengah-tengah obrolan sekelebat ada ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) yang coba merebut rokok yang sedang menyala di tangan Hendri D.
"Rokok Da Hen Nio diambil orang gilo," kata Rahmat setengah berteriak.
Sontak kami ketawa, dan aku sempat bergumam. "Di Kota sejuk, damai seperti ini ada juga orang gila ya," batin ku dalam hati.
Belum reda rasa penasaran kami, terdengar suara bang Riko Sitompul yang kehilangan kopinya.
"Eh Kopi aku mana?!," Ujarnya panik.
Ternyata kopi itu sudah di "sikat" ODGJ yang gagal merebut rokok da Hen tadi.
"Ha... Ha... Ha.. Ha..," Tawa kami semua pecah dan terdengar keras karena Kopi yang hilang baru di minum setengah.
Kisah lucu ini ODGJ mengingatkan aku pada hubungan Kopi dan Jurnalisme Kedai Kopi.
Sejatinya kopi tidak memiliki hubungan langsung dengan jurnalisme, namun meminum secangkir kopi dapat membantu para jurnalis dalam pekerjaannya karena kafein dalam kopi dapat meningkatkan fokus dan kewaspadaan mental.
Sebaliknya, Jurnalisme (di) Kedai Kopi memiliki resiko yang sangat besar dalam khazanah jurnalistik. Betapa tidak, para jurnalis membuat berita dengan hanya nongkrong di kedai kopi.
Obrolan atau "kedai kopi" seringkali tidak memiliki sumber yang dapat diverifikasi dan tidak memenuhi standar jurnalisme yang mengharuskan informasi berdasarkan fakta yang akurat.
Informasi yang disampaikan dalam obrolan warung kopi seringkali berupa opini dan belum tentu berdasarkan fakta, sehingga dianggap tidak pantas disebut sebagai produk jurnalistik.
Ketergesa-gesaan dalam penyebaran informasi di era digital, yang bisa dipercepat dengan minum kopi, juga bisa membahayakan integritas jurnalistik jika tidak dibarengi dengan verifikasi fakta yang teliti. (CSP)
