Nasional

Politik Dinasti Masih Warnai Pilkada 2018

JAKARTA (MR) - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 masih diwarnai munculnya para calon dari keluarga-keluarga yang memiliki jejak kekuasaan di masa lalu. Berdasarkan Data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017, sedikitnya ada 58 daerah (provinsi, kabupaten/ kota) yang terindikasi sebagai dinasti politik. Sebagian dari mereka telah mendorong anggota keluarganya untuk maju dalam Pilkada 2017. 
 
Fenomena majunya anggota keluarga dari dinasti politik juga terlihat dalam 2018. Berdasarkan data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), calon dari dinasti politik muncul dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Kalimantan Barat. Adapun di tingkat kabupaten/kota ada di Kota Serang, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Purwakarta. 
 
"Praktik politik dinasti di daerah patut diwaspadai. Apalagi kecenderungan politik dinasti di Pilkada 2018 ini terlihat di beberapa daerah di Indonesia," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Fitra, Yenny Sucipto, di Jakarta, Rabu (7/3/2018). 
 
Yenny mengungkapkan, dengan modal besar yang dimiliki dinasti politik, baik berupa nama keluarga, pendukung loyal maupun logistik tak terbatas, banyak kepala daerah dalam Pilkada 2015 dan 2017 terpilih dari keluarga politisi lokal. Fenomena ini dalam jangka panjang bisa menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia. 
 
Menurutnya praktik dinasti politik di daerah cenderung mengabaikan sistem merit. Dalam sistem ini lebih diutamakan aspek kekerabatan sehingga membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. "Di era modern ini, politik patrimonial masuk melalui jalur legal di mana anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan seperti partai politik atau lembaga publik lainnya," ungkapnya. 
 
Bahkan Yenny menyebut setelah tidak berkuasa atau habis masa jabatan pun sistem ini masih bisa menyetir pemerintahan baru. Pasalnya pemerintahan masih diisi kelompok yang sama. Jika praktik ini masuk dalam pemilihan pejabat publik seperti pilkada, pemilu legislatif, atau pilpres, proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan.
 
"Lalu jika kuasa pelaku politik dinasti bertambah besar, mereka memiliki kecenderungan berprilaku korup dan melakukan penyalahgunaan wewenang," katanya. 
 
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kita bisa belajar dari mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang menerapkan politik dinasti di Banten. Menurutnya selama 8 tahun berkuasa, banyak kerabat Ratu Atut memasuki tempat strategis baik di eksekutif maupun legislatif. "Kepemimpinan Ratu Atut kemudian ditutup oleh catatan gelap ketika ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak kepada mantan Ketua MK. Lalu juga kasus proses peng anggaran pengadaan alat kesehatan Banten," tuturnya.
 
Hal serupa mulai tampak di salah satu daerah peserta Pilkada 2018, yakni Sulawesi Tenggara. Seperti diketahui, salah satu calon gubernur, Asrun, terjerat kasus operasi tangkap tangan oleh KPK. Menurut Yenny, penangkapan ini pun langsung mengubah konstelasi politik daerah. Tidak itu saja, sebanyak 11 dari 45 anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara hasil Pemilu 2014 adalah keluarga pejabat daerah. 
 
"Kuatnya peran ketokohan dalam kultur politik membuat setiap perubahan afiliasi politik elite lokal berdampak pula terhadap pergeseran dinamika politik di Sulawesi Tenggara," paparnya. 
 
Yenny juga menuturkan, dinasti politik yang ada saat ini cenderung berdampak buruk bagi pembangunan daerah. Menurutnya, sumber daya yang dimiliki daerah, termasuk APBD, hanya akan dikuasai beberapa elite yang dekat dengan penguasa. "Seperti Banten zaman kepemimpinan Atut, angka kemiskinannya meningkat. Beberapa proyek dan program untuk masyarakat tidak jalan, fasilitas pendidikan dan kesehatan tidak tepat sasaran," ungkapnya. 
 
Dengan adanya kondisi demikian, Yenny meminta KPUD/Bawaslu untuk profesional dan netral sebagai lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu. Dia mengingatkan jangan sampai KPUD/Bawaslu dijadikan alat kepentingan oleh kelompok politik dinasti. "Pemilih kita banyak orang awam. Terkadang tidak mengetahui hal seperti ini. Ini adalah PR bagi lembaga/institusi yang diberi kewenangan untuk mengawal pemilu untuk menciptakan masyarakat/pemilih cerdas," ungkapnya.
 
Dia juga meminta KPK melakukan pengawasan kepada calon kepala daerah yang berasal dari politik dinasti. Pasalnya calon-calon tersebut berpotensi melakukan korupsi politik untuk melanggengkan kekuasaan. "Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga melakukan pengawasan kepada calon kepala daerah ini karena kelompok tersebut bisa menghambat agenda demokrasi," paparnya. 
 
Sementara itu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo pun mengingatkan dalam kontestasi pilkada, hendaknya para kandidat menghindari politik uang. Kampanye yang diusung pun harusnya saling adu gagasan pembangunan daerah. "Adu program, adu konsep, adu gagasan, tidak ada politik uang. Jangan sampai ada OTT, baik oleh KPK maupun oleh satgas kepolisian yang kemarin menangkap di Garut," ungkapnya.
 
 
Sumber: Sindonews.com




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan