Ekonomi

Pemerintah Juga Perlu Ikut Redam Gejolak Rupiah Tak Cuma BI

Ilustrasi

JAKARTA (MR) - Nilai tukar rupiah anjlok sepanjang tahun ini. Nilai mata uang garuda yang tahun lalu masih bergerak stabil di kisaran Rp13.300 - Rp13.500 per dolar AS, kini harus rela dibanderol Rp14.300.

Ya, rupiah saat ini mengalami tekanan hebat dari kebijakan Bank Sentral Amerika, The Federal Reserve yang rencananya akan menaikkan suku bunga acuan mereka sampai tiga atau empat kali pada tahun ini.
 
Kebijakan tersebut membuat dana investor yang tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia, pulang kampung ke AS dan berakibat pada pelemahan rupiah. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter sebenarnya sudah berusaha mengatasi pelemahan rupiah tersebut.
 
Kurang dari dua bulan, mereka sudah mengerek suku bunga acuan sampai dengan 100 basis poin untuk meredam dampak kenaikan suku bunga acuan The Fed.
 
Tapi upaya tersebut, sampai saat ini belum cukup ampuh meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Terbukti, sampai dengan Selasa (3/7) ini, atau sepekan setelah BI menaikkan suku bunga acuan mereka sebesar 50 basis poin, nilai tukar rupiah masih jeblok hingga lebih dari Rp14.300-an per dolar AS.
 
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan bahwa pelemahan rupiah saat ini memang bukan hanya mendapatkan beban berat dari kebijakan The Fed dan kondisi ekonomi global saja.
 
Namun, rupiah juga mendapatkan tekanan hebat dari neraca dagang dan defisit transaksi berjalan. Maklum saja, untuk neraca dagang dalam negeri misalnya, sepanjang Januari-Mei 2018 mengalami defisit US$2,38 miliar.
 
"Kombinasi itu membuat pasokan dolar semakin menipis, sehingga pelemahan rupiah tak bisa dihindari," ujarya kepada , Senin (2/7).
 
Piter mengatakan BI perlu memaknai lagi kebijakan preemptive, front loading, dan ahead the curve yang mereka jalankan agar nilai tukar rupiah kembali stabil. Pasalnya, kebijakan tersebut mengesankan bahwa BI memang tidak sabar dalam menahan pelemahan rupiah dan mengerem arus modal keluar.
 
Kenaikan suku bunga yang mereka lakukan tidak cukup menahan pelemahan nilai tukar rupiah dan menahan tekenan ekonomi global.
 
BI juga harus berkoordinasi dengan pemerintah agar pelemahan rupiah dan gejolak ekonomi dalam negeri yang berkelanjutan bisa diredam. Pemerintah harus diajak berperan aktif agar masalah tersebut bisa diselesaikan dengan segera memperbaiki kinerja perdagangan yang belakangan ini memble.
 
Peran aktif pemerintah ini yang perlu didorong. Toh, sampai saat ini mereka masih sibuk mengutak-atik kebijakan insentif fiskal untuk industri.
 
Pemerintah juga belum menyelesaikan pekerjaan mereka dalam menggenjot sektor pariwisata. "Segera, ajak pemerintah melaksanakan kebijakan mereka agar pelemahan rupiah dan kinerja perdagangan bisa diperbaiki," katanya.
 
Segendang sepenarian dengan Piter, Ekonom Institute for Development and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pemerintah memang belum maksimal membantu BI dalam mengatasi pelemahan rupiah.
 
Saat ini, BI masih terlihat sendiri dalam mengatasi tekanan rupiah. Sebenarnya, Bhima mengakui pemerintah sudah menebar insentif fiskal, baik tax allowance maupun tax holiday, bagi industri berorientasi ekspor.
 
Tapi karena menyasar masalah di hulu, kebijakan tersebut belum memberi hasil memuaskan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil kebijakan tambahan yang bisa memberikan hasil cepat.
 
Segera pangkas Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) untuk kegiatan ekspor. Kebijakan tersebut bisa cepat merangsang eksportir untuk segera menambah volume produksi ekspor mereka.
 
"Memang, kebijakan ini akan berdampak ke penurunan penerimaan pajak," jelasnya.
 
Cara cepat lain, yaitu memaksimalkan penyelesaian negosiasi perdagangan bilateral dan para atase perdagangan yang tersebar di berbagai belahan dunia. Kementerian Perdagangan harus aktif menginisiasi ini agar pasar tujuan ekspor bisa diperbanyak.
 
"Jadi, ketika AS-China perang dagang, Indonesia justru bisa menjamin posisinya tetap untung karena main di bilateral. Ini Kementerian Perdagangan seharusnya bisa lakukan," tuturnya.
 
Sembari mendorong ekspor, pemerintah juga harus segera mengurangi impor. Impor sebenarnya tidak salah, karena bila ditelaah itu memang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digenjot pemerintah.
 
Namun, impor tersebut juga tidak boleh dilakukan secara serampangan. Impor tidak boleh dilakukan bila industri dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan.
 
Pengurangan impor juga bisa dilakukan dengan menebar insentif ke perusahaan minyak dan gas (migas) yang menambah daya eksplorasinya supaya cadangan minyak bertambah dan impor minyak ditekan.
 
Langkah lain, menggeber penerimaan devisa melalui sektor pariwisata yang saat ini tengah dikembangkan pemerintah dan mengimbau tenaga kerja Indonesia (TKI) agar menyetorkan remitansinya melalui sistem jasa keuangan yang resmi di Indonesia, supaya tercatat sebagai devisa.
 
"Imbauan diperlukan karena saat ini TKI masih sering menitipkan uangnya ke orang lain untuk membawanya ke Indonesia," tandasnya.




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan