Peristiwa 3 Januari

Pertempuran Princeton hingga Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946

MONITORRIAU.COM – Memasuki hari ketiga pergantian tahun, sederet peristwa terjadi pada 3 Januari. Salah satunya pemindahan Ibu Kota oleh Ir. Soekarno dari Jakarta ke Yogyakarta dengan alasan keamanan setelah pendaratan pasukan Sekutu di Jakarta pada 1946 silam.

Berikut Okezone merangkum sederet peristiwa yang terjadi pada 3 Januari, sebagaimana dikutip dari Wikipedia.org, pada Kamis (3/1/2019):

1. Pertempuran Princeton (1777)

Selama Revolusi Amerika, pertempuran Princeton terjadi pada 3 Januari 1777 yang berlokasi dekat Princeton, New Jersey. Pertempuran ini terjadi selang seminggu setelah terjadinya Pertempuran Trenton.

Saat itu Jenderal George Washington, kepala negara Amerika Serikat pertama, memimpin pasukan Continetal Army maju ke Prenciton setelah kemenangannya di Trenton.

Sebelumnya, pasukan ini telah mengalahkan angkatan Britania. Pasukan britania dibawah pimpinan Charles Cornwallis, 1st Marquess Cornwallis saat itu disuruh bersiaga dan memburu. Namun, pasukan Continental Army membakar jembatan di belakang mereka dan menggunting pasukan Britania sebelum lari.

Pertempuran ini menyebabkan 200 korban tewas di anatara pasukan Britania bersama dengan 300 orang lain yang terluka atau tertangkap, sedangkan pasukan Amerika hanya menderita kerugian kecil.

2. Meninggalnya Nani Wartabone, Pahlawan Nasional Asal Gorontalo (1886)

Putra Gorontalo yang lahir pada 30 Januari 1907 ini merupakan tokoh perjuangan dari provinsi Gorontalo. Nani Wartabone diberi gelar Pahlawan Nasiona berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 085/TK/Tahun 2003 pada 6 November 2003 silam.

Nani Wartobone terkenal sebagai seorang pejuang yang aktif berorganisasi dan berjuang kolonialisme di daerahnya pada masa perjuangan kemerdekaan. Saat itu, ia berjuang mendirikan Jong Gorontalo di Surabaya dan menjadi sekretaris didalamnya pada 1923.

Pada 1928, ia kembali ke Gorontalo dan memebentuk perkumpulan tani (hulanga) dengan menanamkan rasa kebangsaan pada diri setiap anggota. Ia pun pernah menjabat sebagai Ketua PNI Cabang Gorontalo serta membukan cabang Partindo pada saat itu. Dalam bidang politisi, Nani Wartabone dipercaya memangku jabatan penting seperti, sebagai Residen Sulawesi Utara di Gorontalo, dan anggota DPRGR sebagai utusan golongan tani.

Nani Wartabone menghembuskan nafas terakhirnya bertepatan dengan berkumandangnya salat Jumat pada 3 Januari 1986. Sebagai bentuk apresiasi mengenang perjuangannya di Kota Gorontalo dibangunlah Tugu Nani Wartabone yang terletak di laun-alun Kota Gorontalo (Lapangan Taruna Remaja) atau tepat berada di depan rumah Dinas Gubernur Provinsi Gorontalo.

3. Dibentuknya Kementerian Agama Republik Indonesia (1946)

Kementerian Agama Republik Indonesia atau dulu yang bernama Departemen Agama merupakan kementerian yang membidangi urusan agama, dibentuk pada 3 Januari 1946 silam.

Mulanya, dalam sidang BPUPKI pada 11 Juli 1945, Muhammad Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa, yaitu yang berhubungan dengan agama yakni Kementerian Islamiyah yeang menurutnya memberi jaminan kepada umat Islam di Indonesia dan dapat dilihat serta dirasakan dengan kesungguhan hati. Namun, usulan tersebut tidak begitu mendapat sambutan alias sedikit diabaikan.

Pada 19 Agustus 1945, usulan pembentukan Kementerian Agama disepakati oleh PPKI saat berlangsungnya sidang Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Namun, dari 27 anggota yang saat itu datang,hanya enam diantaranya yang menyetujui usulan tersebut.

Beberapa di antara mereka yang menolak usulan tersebut beranggapan bahwa urusan keagamaan dapat ditangani oleh Kementerian Pendidikan. Dengan penolakan oleh beberapa tokoh penting seperti Iwa Kusumasumatri, Johannes Latuharhary, serta Abdul Abbas akhirnya usulan pembentukan Kementerian Agama di tolak.

11 November 1946, usulan pembentukan Kementerian Agama kembali diajukan oleh K.H. Abudardiri, K.H, Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Hal ini pun, mendapat dukungan penuh dari beberapa tokoh penting seperti Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian medapatkan persetujuan dari BP-KNIP.

Saat berlangsungnya sidang pleno BP-KNIP pada 25-28 November 1945, usulan tersebut kembali dikemukakan serta mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh islam yang hadir setelah mendengarkan usulan yang disampaikan oleh para wakil KNIP Daerah Kresidenan Banyumas.

Tanpa pemungutan suara, Soekarno akhirnya memutuskan dibentuknya Kementerian Agama dengan mengeluarkan ketetapan No.1/S.D. dengan mengangkat Haji Mohammad Rasjidi sebagai Menteri Agama RI Pertama.

4. Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta (1946)

Pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta bermula dengan situasi kemanan di Ibu Kota yang sangat tidak aman pada awal tahun1946. Hal ini ditandai dengan masuknya pasukan Sekutu (AFNEI) yang diboncengi oleh pasukan Belanda (NICA).

Pendaratan Sekutu dimulai dengan melakukan razia-razia dan penangkapan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Penjarahan dan perampokan pun terjadi di mana-mana hinnga menimbulkan kontak senjata antara pejuang dan Sekutu.

Pada saat itu, upaya penculikan Presiden Soekarno dan pejabat tinggi pemerintah RI lainnya oleh pasukan NICA serta masyarakat yang sepenuhnya tidak mendukung dan tunduk kepada pemerintahan baru.

2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mempersilakan pemerintah RI untuk bersedia memindahkan Ibu Kota ke Yogyakarta atas jaminan mereka berdua melalui surat yang diantarkan oleh kurir. Soekarno pun menerima tawaran tersebut dan mulai membahas bersama kawan-kawanya dalam sidang cabinet tertutup.

Soekarno memutuskan untuk diam-diam memindahkan Ibu Kota menggunakan kereta api pada 3 Januari 1946 dan tiba dengan selamat beserta rombongan pada keesokan harinya, 4 Januari 1946. Setibanya di Yogyakarta, Soekarno bersama rombongan dijemput langsung oleh Sri Hamengkubuwana IX, Sri Pakualam VIII, Panglima Jenderal Soedirman, beserta para pejabat tinggi yang sudah lebih dulu sampai serta masyarakat Yogyakarta, yang kemudian mengarak rombongan menuju Gedung Agung melewati Jalan Malioboro.

Sementara pengelolaan dan pengendalian keamanan kota Jakarta saat itu diserahkan kepada Letnan Kolonel Daan Jahja yang merangkap sebagai Gubernur Militer Kota Jakarta saat itu.*** (okezone)




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan