Stigma Sosial di Balik Layar: Mengungkap Luka Akibat Cyberbullying di TikTok
PADANG (MR) - 10 Juni 2025 - Dunia digital yang kini akrab di tangan masyarakat, ternyata menyimpan sisi gelap yang tidak banyak disadari. Di balik kebebasan berbagi konten dan menyampaikan opini, hadir bentuk baru kekerasan sosial yaitu cyberbullying.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi, Universitas Negeri Padang, mengupas tuntas dinamika perundungan digital dengan pendekatan sosiologis, khususnya teori labeling atau pelabelan sosial.
Dengan mengangkat judul Stigma Sosial di Balik Layar, kajian ini menjelaskan bagaimana konten kreator di media sosial khususnya TikTok menjadi sasaran label negatif dari warganet (netizen).
Label ini tidak hanya menjadi sekadar julukan, tapi berkembang menjadi stigma yang menciptakan tekanan psikologis, bahkan mengarah pada isolasi sosial. Yang lebih mengkhawatirkan, tindakan ini terjadi hanya dalam hitungan detik cukup dengan satu komentar tajam atau video sindiran.
Dua contoh kasus menjadi sorotan utama dalam penelitian ini. Pertama adalah selebriti Sandra Dewi, yang dihujat oleh publik akibat kasus dugaan korupsi yang menjerat suaminya, Harvey Moeis. Meski tidak terlibat langsung, Sandra menerima gelombang hujatan dan label seperti “hama negara” hingga “istri maling 271T” yang terus beredar di TikTok.
Ini menunjukkan bagaimana seseorang bisa menjadi korban stigma sosial hanya karena asosiasi dengan individu lain.
Kasus kedua adalah kreator konten lokal asal Pekanbaru yaitu Putri Padang, yang sering dilabeli “sikotak” oleh netizen. Julukan tersebut menyerang dikarenakan bentuk fisiknya. Hal ini menunjukkan bahwa pelabelan tidak hanya menyerang tindakan, tapi juga karakter, bahkan tubuh seseorang.
Menurut teori labeling, perilaku menyimpang tidak hanya muncul karena pelanggaran norma, tetapi juga karena penilaian masyarakat. Jika seseorang dilabeli negatif secara terus menerus, maka label tersebut bisa menjadi identitas baru yang memengaruhi cara individu memandang dirinya sendiri dan bertindak di kemudian hari (self-fulfilling prophecy).
Cyberbullying di TikTok telah menjadi bentuk kontrol sosial digital. Netizen secara kolektif menggunakan hujatan sebagai cara untuk “mengatur” siapa yang pantas tampil, bagaimana seseorang harus bersikap, dan siapa yang layak dihukum sosial. Ruang digital yang seharusnya inklusif berubah menjadi arena penghakiman massal.
Kesadaran masyarakat akan etika digital masih rendah. Kurangnya literasi digital menyebabkan media sosial digunakan tanpa pertimbangan moral dan sosial yang bijak. Oleh karena itu, mereka berharap hasil penelitian ini dapat menjadi bahan refleksi, baik untuk pengguna media sosial secara umum, maupun bagi pemerintah dan institusi pendidikan dalam menyusun program literasi digital yang kuat.
Melalui pendekatan sosiologis ini, penelitian ini memberikan peringatan penting bahwa luka akibat hujatan digital tidak selalu terlihat, tapi bisa meninggalkan dampak panjang dalam kehidupan seseorang. Maka, sebelum mengetik komentar, mari bertanya: apakah kalimat itu membangun, atau justru menghancurkan? ***
Penulis: Elsa Putri Hardyanti, Khairah Fadla Nasifa, Elvira Gustia, M. Yahya
Universitas Negeri Padang
