Flexing dan Hedonis : Simbol Status dan Perlawanan Rakyat
Oleh: Teddy Niswansyah
Mediator
Flexing adalah istilah populer yang merujuk pada tindakan pamer harta, kekayaan, atau gaya hidup mewah. Biasanya dilakukan melalui media sosial maupun aktivitas publik. Seseorang yang melakukan flexing seringkali ingin menunjukkan status sosial atau keberhasilan finansial nya.
Sementara itu, hedonisme adalah pandangan hidup yang menjadikan kesenangan, kemewahan, dan kepuasan materi sebagai tujuan utama.
Dalam konteks pejabat publik, gaya hidup hedonis tercermin dari perilaku yang mengedepankan kenyamanan pribadi. Meskipun seringkali bertentangan dengan kondisi sosial masyarakat yang dipimpinnya.
Belakangan ini, flexing dan gaya hedonis yang dilakukan oknum para pejabat menuai kritik bahkan perlawanan sosial. Betapa tidak, ditengah resistensi ekonomi ada saja konten di medsos maupun berita tv mainstream yang membuat rakyat "tersakiti". Di awali oleh joged-joged wakil rakyat di Senayan sampai narasi yang mendiskreditkan "pendemo" yang menuntut DPR dibubarkan.
Bagi rakyat jelata, gaya hidup mewah pejabat sering dipandang sebagai bentuk pengkhianatan moral. Mereka merasa bahwa pejabat seharusnya menjadi representasi suara rakyat kecil, bukan justru hidup dalam dunia yang terpisah jauh dari realitas kemiskinan.
Masyarakat sering menyuarakan kritik melalui media sosial, satire, hingga aksi protes. Anggota dewan khususnya menjadi sorotan, karena mereka adalah wakil rakyat yang gaji, tunjangan, dan fasilitasnya berasal dari pajak masyarakat. Ketika gaya hidup hedonis mereka terlihat jelas, muncul perasaan yang tersakiti, bahkan ungkapan marah karena rakyat hanya menjadi penonton dari kemewahan yang didanai hasil kerja keras mereka.
Sosiolog Heru Nugroho menyebutkan bahwa fenomena flexing memicu budaya pengawasan digital. Masyarakat yang semakin sulit hidupnya merasa perlu mengungkap gaya hidup pejabat, karena sistem formal tak cukup efektif. (bbcnews indonesia)
Busyro Muqoddas, mantan Ketua KPK menekankan bahwa gaya hidup pragmatik hedonis politikus adalah bahaya potensial bagi budaya korupsi dan kekayaan bukan masalah, asal tidak dipamerkan. Selanjutnya Ketua PP Muhammadiyah menyatakan serupa,
Anwar Abbas mencibir perilaku foya-foya pejabat sebagai pamer dan sombong, bahkan bisa memicu penyimpangan seperti korupsi karena tidak sesuai penghasilan sah.
Reaksi Masyarakat
Fenomena flexing dan hedonisme pejabat memiliki dampak sosial yang signifikan. Pertama, menimbulkan jurang ketidakadilan. Rakyat jelata melihat adanya ketimpangan yang mencolok antara kehidupan mereka yang serba sulit dengan kemewahan para pejabat.
Kedua, menciptakan krisis kepercayaan. Rakyat mulai meragukan integritas pejabat yang seharusnya menjadi teladan kesederhanaan dan pengabdian.
Lalu, yang ketiga, mendorong lahirnya sikap sinis dan apatis, dimana masyarakat tidak lagi percaya pada proses politik maupun kinerja lembaga legislatif.
Oleh karenanya, gelombang protes tak terbendung. Diawali oleh gerakan mahasiswa dan kelompok buruh. Hingga pengemudi ojol terlibat akibat insiden "Affan Kurniawan" yang masuk dalam gelombang protes.
Namun disayangkan, tuntutan murni ini disusupi "penumpang gelap" yang membuat rusuh dengan aksi pengrusakan fasilitas umum, pembakaran bahkan penjarahan.
Pandangan Islam
Islam memandang flexing dan gaya hidup hedonis sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kesederhanaan dan keadilan sosial. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali tidak akan sampai setinggi gunung.”
(QS. Al-Isra: 37)
Rasulullah SAW juga mencontohkan kehidupan yang sederhana, meskipun beliau memiliki akses terhadap harta. Kekayaan dalam Islam dipandang sebagai amanah yang harus digunakan untuk kemaslahatan umat, bukan untuk sekadar dipamerkan.
Flexing dan hedonisme pada dasarnya merupakan bentuk israf (berlebih-lebihan) yang dilarang dalam Islam. Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra: 27)
Empati, Simpati, Sederhana dan Integritas
Fenomena flexing dan gaya hidup hedonis pejabat bukan hanya masalah etika personal, melainkan juga persoalan moral publik. Islam menolak gaya hidup berlebih-lebihan karena dapat merusak nilai keadilan sosial. Sementara itu, dari sudut pandang masyarakat, kemewahan pejabat hanya memperlebar jurang anti trust antara rakyat dengan wakilnya.
Pejabat seharusnya meneladani prinsip kesederhanaan, transparansi, dan pengabdian, bukan justru memperlihatkan simbol status yang melukai hati rakyat.
Ada empat point konklusi dari fenomena yang tengah berkembang sekarang. Masyarakat menuntut sikap empati dan simpati dari pejabat publik. Kesulitan ekonomi yang dirasakan sebaiknya disikapi dengan kebijakan yang solutif. Seperti penghapusan dan keringanan pajak, kesempatan kerja yang luas dan harga barang-barang kebutuhan yang murah.
Selanjutnya sikap empati dan simpati dapat diwujudkan dengan bantuan pribadi atau kelompok dari pejabat terhadap masyarakat miskin. Bukan justru narasi dan gaya yang menyinggung kaum kecil.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah kesederhanaan. Sikap sederhana dari pejabat dan kaum mapan secara ekonomi lebih softly dan dinilai ber-empati di tengah situasi ekonomi yang sulit. Kemewahan yang meliputi harta, jabatan dan pengaruh tidak-lah patut dipublikasikan. Peristiwa flexing, hedon, pamer dan kegembiraan yang berlebihan dapat sampai ke jutaan pasang mata masyarakat di era digital informasi sekarang.
Terakhir adalah sikap integritas. Selain memiliki mental untuk menolak fasilitas yang mewah, pejabat dituntut untuk anti korupsi yang pada akhirnya berdampak luas bagi ekonomi negara. Integritas wajib disandang para pejabat sebagai implementasi keadilan sosial.
Sehingga jika negara dalam resistensi ekonomi maka seluruh komponen masyarakat harus memperlihatkan aksi nasionalis. Jangan sampai masyarakat kecil yang jumlahnya banyak dijadikan subjek untuk menanggung beban ekonomi negara. Seperti yang dilakukan kolonialisme dulu.
Pada akhirnya sikap empati, simpati, kesederhanaan dan integritas adalah modal utama bagi pejabat publik untuk meraih kepercayaan publik kembali. Fenomena ini merupakan evaluasi nasional sekaligus alarm untuk pejabat negara agar menghidupkan kembali iklim demokrasi pancasila. ***
