Opini

Meredam Langkah Toro, Wartawan Antikorupsi

Drs, Wahyudi El Panggabean SH, MH

Saat pemerintah lagi gencar-gencarnya memerangi koruptor, justru di Riau wartawan yang getol membongkar kasus korupsi, dikriminalisasi. 

TOROZHIDU Laia, nama yang sontak populer. Paling tidak, 3 bulan belakangan. Pria kelahiran Pematang Siantar, 33 tahun silam ini--secara kontinu--menjadi objek pemberitaan pers. 

Keberaniannya, membongkar kasus-kasus dugaan korupsi adalah awal kifrahnya. Bengkalis, daerah rawan korupsi, area perburuannya, satu dasa warsa terakhir.

Di Negeri "Super Kaya" ini, Toro, Pemimpin Redaksi www.harianberantas.co ini, malang-melintang menebar misi: melawan arus deras korupsi.

Aktivitas bermodal nyali. Berburu informasi di sarang "tikus-tikus" koruptor, Toro memang sosok pemberani. Dia sosok yang keras. Dia nekat.

Tetapi, terakhir, kenekatan itu pula yang memaksanya menjadi "Terdakwa" kriminalisasi pers.

Pelapor bukan pula sembarang orang. Justru Bupati Bengkalis, Amril Mukminin, yang berjuang secara antagonis: meredam  "langkah" Toro. 

Maklum, tampaknya, Amril paling terusik sepak terjang Toro. Soalnya, di beberapa even "mega-korupsi" Bengkalis, Toro "mengendus" aroma keterlibatan pemegang Otoritas Bengkalis.

Sepanjang kifrahnya, sejak 2011, Toro  sedikitnya menjadi pelapor dan pemberita kasus dugaan korupsi Bengkalis. 

Atas dedikasinya menyelamatkan uang negara ini, Kepala Kejaksaan Tinggi Riau menganugerahi penghargaan kepada Toro dan ucapan terima kasih.

Piagam supremasi itu masih terpampang di dinding rumahnya. Piagam kebanggaan  itu diberikan Kajati Riau, Setia Untung Arimuladi, S.H.,M.H., tanggal 16 Juni 2015

Piagam yang kemudian jadi ironisme itu, tentu saja berkaitan dengan Kasus korupsi yang dilaporkan dan diberitakan Toro tersebut, di antaranya:

Kasus Bengkalis Laksamana Jaya (BLJ). Korupsi di BUMD ini merugikan negara ratusan miliar rupiah. Beberapa orang dihukum penjara.

Proyek Multy Years, Pembangunan Jalan Batu Panjang, Pulau Rupat (2013-2015). Kerugian negara puluhan miliar.

Kasus dugaan penjualan Kawasan Hutan Lindung di Mandau senilai Rp 55 Miliar. Kala itu yang menjabat Camat Mandau, istri Amril Mukminin. Amril sendiri masih anggota DPRD Bengkalis.

Terakhir Kasus korupsi Bansos senilau Rp 204 miliar. Kasus ini sudah menyeret beberapa anggota DPRD Bengkalis ke penjara juga mantan Bupati Bengkalis, Herlian Saleh.

Dalam kasus Bansos, Amril masih berstatus anggota DPRD Bengkalis. Kasus ini, diusut, saat Amril sudah menjadi Bupati Bengkalis.

Toro kekudian memberitakan Amril terlibat dalam kasus korupsi ini, tetapi dia tidak diproses hukum. 

Lambannya, respon Penegak Hukum, mendorong kontiniutas pemberitaan Toro atas kasus korupsi ini. Berulang-ulang.

Pihak yang diberitakan, menghitung setidaknya, 9 kali berita atas objek yang sama. Tindakan tidak etis ini, dasar Dewan Pers "menyidang" Toro.

Toro ditetapkan Dewan Pers, sebagai "pelanggar" Kode Etik Jurnalistik. Toro wajib memuat Hak Jawab Amril.

Tetapi, Dewan Pers membuat catatan khusus: kasus ini semata-mata wilayah Kode Etik. Wilayah UU Pers No.40 Tahun 1999. Jangan dibawa ke jalur hukum.

Tetapi, kemudian yang mengemuka, friksi Toro dan pihak Amril. Intinya  Hak Jawab tak kunjung digunakan.

Di sisi lain,Toro justru terus melakukan klarifikasi atas pemberitaannya. Amril, merasa nama baiknya dicemarkan.

Amril habis kesabaran, tampaknya. Dia meminta jasa Advokat. Toro dilaporkan ke Polda Riau. Rekomendasi Dewan Pers diabaikan.

Polisi kemudian membidik Toro dari UU ITE, khususnya Pasal 27. Yakni,  disangka melakukan pencemaran nama baik Anril Mukminin. 

Kasus ini berlanjut di ranah hukum. Jaksa kemudian, menilai laporan ini layak dilanjutkan. Kini, kasusnya, tengah disidangkan. Toro, berstatus "Terdakwa".

Hari-hari Toro sebagai pemangku profesi wartawan, pun kini terusik persidangan terjadwal di Pengadilan Negeri (PN Pekanbaru). Setiap hari senin. Toro tidak ditahan.

Polemik mengemuka jadi pro-kontra. Utamanya, tentang rekomendasi Dewan Pers yang diabaikan Penyidik dan Penuntut.

Kesannya, Toro sengaja dikriminalisasi. Padahal, masalahnya, hanya sebatas sengketa pemberitaan, sesuai anjuran Dewan Pers.

Pra-sangka, lantas mencuat, mengundang solidaritas rekan pers yang bersimpati kepada otoritas Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. 

Solidaritas sesama rekan pers ini kemudian, mengkristal jadi semacam forum. Wadah berhimpun SPI.

Ada semacam kekhawatiran. Kasus Toro, menjadi preseden buruk di alam demokrasi pers nasional. 

Untuk itulah Solidaritas Pers Indonesia (SPI) bereaksi. Mereka protes, kriminalisasi terhadap Toro.

Mereka sepakat, hukuman teradapToro otomatis hukuman bagi sesiapapun wartawan yang memerangi korupsi lewat pemberitaan. 

Dewan Pers ternyata tidak tinggal diam. Saat memberi kesaksian ahli di persidangan, pihak Dewan Pers tetap kukuh. 

Dewan Pers meminta majelis hakim agar sengketa pemberitaan harus diselesaikan lewat UU Pers. Bukan UU ITE.

Dalam beberapa kali keterangan pers-nya Dewan Pers tetap konsisten. Kasus Toro, merupakan sengketa pemberitaan. Dan, Toro tidak bisa dikriminalisasi.

Di pihak kontra. Tentu saja, Toro mesti dihukum berat. Mesti di penjara. Mereka akan berjuang maksimal untuk itu. 

Ini yang teramati dari masalah ini:

"Upaya meredam wartawan antikorupsi".

 

Penulis: Wahyudi El Panggabean

Dirut Pekanbaru Journalis Center




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan