Riau

Profesor Yamamoto Jepang Tawarkan Kerja Sama Penelitian Masalah Abrasi Lahan Gambut

Plt Sekda Bengkalis Arianto bersama Associate Profesor Koichi Yamamoto asal Yamaguchi University, Jepang, Peneliti dari Universitas Riau Sigit Sutikno dan Kepala Balitbang Bengkalis Sopian Hadi

BENGKALIS (MR) - Associate Profesor Koichi Yamamoto asal Yamaguchi University, Jepang, Rabu (21/12/2016) menawarkan kerja sama penelitian masalah abrasi di lahan gambut di Pulau Bengkalis. Sebelumnya, profesor asal Matahari Terbit ini, melakukan penelitian masalah gambut sejak tahun 2013 dan berakhir pada 2016.

Penelitian tentang masalah abrasi di lahan gambut di Pulau Bengkalis ini mendapat perhatian Yamaguchi University, bahkan Pemerintah Jepang menyedikan dana sebesar 9,6 juta Yen atau sekitar Rp 9,6 miliar. Sumber dana dari Pemerintah Jepang dapat direalisasikan, dengan syarat penelitian tersebut mendapat dukungan dan respon positif dari pemerintah dan perguruan tinggi setempat.

Pernyataan tentang penawaran kerja sama penelitian itu disampaikan Profesor Koichi Yamamoto dalam pemaparannya di hadapan Plt Sekretaris Daerah (Sekda) Arianto, Kepala Balitbang Bengkalis Sopian Hadi dan sejumlah penjabat dari Badan Lingkungan Hidup Bengkalis.  

“Untuk mengajukan proposal ke Pemerintah Jepang, dibutuhkan dukungan dari pemerintah dan perguruan tinggi setempat,” demikian dikatakan Prof Koichi Yamamoto yang diterjemahkan oleh Dr. Sigit Sutikno dari dosen dan peneliti dari Universitas Riau.

Terkait penawaran tersebut, Plt Sekda Bengkalis, Arianto menyambut baik keinginan Prof Koichi Yamamoto untuk melakukan penelitian lanjutan tentang abrasi di kawasan gambut. Terlebih lagi, pemerintah Jepang menyediakan dana sebesar Rp 9,6 miliar. “Kalau syaratnya butuh dukungan dari pemerintah daerah, tentu kita sangat mendukung sekali,” ungkapnya.

Arianto berharap kepada Prof Koichi Yamamoto, agar program dan dana yang kucurkan ke Bengkalis tidak hanya bersifat pada program penelitian, tapi diimbangi aksi nyata, seperti program bantuan untuk pembangunan water break alias pemecah gelombang. Mengingat, penanganan dan penanggulangan masalah abrasi, selain dalam bentuk penelitian, namun yang sangat dibutuhkan pembangunan pemecah ombak.   

Berdasarkan referensi dan penelitian selama ini, tingkat abrasi di Pulau Bengkalis sangat parah, rata-rata mencapai 30-40 meter per tahun. Khusus di lahan gambut, Prof Yamamoto, tingkat abrasi luar biasa parah, puncaknya terjadi pada musim hujan ditandai dengan longsor kemudian jatuh ke laut. Untuk menanggulangi persoalan ini, tentu butuh penanganan serius dari pemerintah maupun masyarakat dan stakeholder tarkait. “Sebelum dilakukan penanganan, harus dilakukan riset atau penelitian lebih matang, sehingga penanggulangan abrasi lebih maksimal,” tandasnya.

Meskipun, Pulau Bengkalis menghadapi abrasi terparah terutama di kawasan yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka, namun di sisi lain muncul daratan baru akibat sendimentasi.*** (Humas)




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan