Opini

Dilema Pengesahan Rancangan Undang-undang Inisiatif DPR Tanpa Persetujuan Presiden

Di Indonesia, nomenklatur (istilah) “perundang-undangan” diartikan dengan segala sesuatu yang bertalian dengan undang-undang, seluk beluk undang-undang. falsafah negara itu kita lihat pula dari sistem perundang-undangannya. 
 
Puncak dari upaya untuk memperkuat sistem dalam ketatanegaraan yang menjamin kuatnya peran parlemen dalam berhadapan dengan pemerintah, diwujudkan pula dalam pelaksanaan agenda amandemen terhadap UUD 1945. 
 
Dalam rangka amandemen UUD 1945 tersebut, secara khusus kita dapat melihat adanya perubahan dalam perumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) dalam naskah perubahan pertama hasil sidang umum MPR tahun 1999.
 
Dalam perumusan Pasal 5 ayat (1) lama dinyatakan: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Dalam perubahan pertama, rumusan pasal tersebut di ubah menjadi: “Presiden berhak mengusulkan rancangan undang-undang kepada DPR”. Sebaliknya, dalam Pasal 20 ayat (1) baru dinyatakan: “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. 
 
Padahal dulu ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1): “Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan undang-undang”. Dengan perkataan lain, dalam hal membentuk undang-undang sebagai produk hukum tertinggi dibawah UUD dan Tap MPR, kekuasaan pokoknya digeser atau dialihkan dari tangan Presiden ke tangan DPR. 
 
Otomatis sejak itu segala kewenangan Presiden untuk mengatur, membuat regulasi, mengadakan legislasi, haruslah didasarkan atas kewenangan pokok yang sekarang sudah dialihkan ke DPR.
 
Sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945, rancangan undang-undang yang sudah mendapatkan persetujuan bersama itu, akan disahkan sebagaimana mestinya oleh Presiden. Bahkan, oleh Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 ditentukan jika Presiden tidak bersedia mengesahkannya, maka rancangan undangundang itu akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari semenjak rancangan undangundang itu resmi mendapat persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden.
 
Dalam praktik, sejumlah undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Presiden dan DPR, tetapi tidak ditandatangani oleh Presiden adalah diberlakukan dan mengikat umum tanpa pengesahan Presiden, yaitu (1) undang-undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau; (2) undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; (3) undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (4) undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; (5) UU No. 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).
 
Pengesahan merupakan simbol negara sebagai representasi negara, sehingga dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tetapi tidak disahkan Presiden maka waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetuji bersama namun tidak disahkan Presiden, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. 
 
Hal ini juga menunjukan bahwa tidak ada implikasi hukum terhadap kedudukan presiden ketika tidak mengesahkan RUU tetapi menurut pendapat penulis secara etika ketatanegaraan ini mempengaruhi kepercayaan masyarakat dan konsistensi yang sebelumnya telah menyetujui bersama (Presiden dan DPR) tetapi diakhir tidak mengesahkan seharusnya ada komunikasi yang serius terkait DPR dan Presiden perihal Pengesahan Undang – Undang.
 
 
 
Penulis: Maulana Ghalib As Shidqie, S.H 
 
Mahasiswa Program Magister Hukum dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara Universitas Lancang Kuning Pekanbaru dan juga sebagai Legal Officer PT. Ghasyindo Inter Nusa




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan