Opini

Eksistensi Pemilih Untuk Pemilu yang Aspiratif dan Demokratis

Pujimiarsa, SE

Penulis: Pujimiarsa, SE.

1. Pendahuluan.

Seperti  yang kita ketahui bersama, sasaran utama dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) adalah Masyarakat. Tentu saja hal ini masyarakatlah yang merupakan sebagai acuan untuk menentukan pilihan mereka, kemana arah dan keberlangsungan hidup para penduduk untuk dimasa depan.

Dengan wujud  eksistensinya adalah masyarakat itu sendiri, namun masyarakat yang akan menjadi pemilih pada hak pilihnya adalah yang sudah dianggap dewasa. Penggunaan hak pilih itu sudah diatur dalam Pasal 43 Ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyatakan, “1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. “2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantara wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”.

Selain peraturan perundang-undangan tersebut yang sudah sangat jelas dan tegas, sebenarnya dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sudah dinyatakan, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Rakyat memiliki kewajiban yang bertanggung jawab dalam memilih pemimpin yang hendak mengatur dan mengurusi kehidupan mereka.

Maka peran dan fungsi KPU, Bawaslu, MK dibutuhkan guna mencegah terabaikannya hak-hak warga negara dalam memilih pemimpin yang mereka kehendaki secara demokratis. Hak dipilih dan memilih juga ditegaskan dalam putusan MK nomor 011-17/PUU-I/2003, hak konstitusional warga negara yakni memiliki hak untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) merupakan hak yang dijamin konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional. Oleh karena dijamin konstitusi, maka tindakan apapun selama warga negara telah memenuhi syarat lalu dihambat, atau menghalangi merupakan hal yang bertentangan dengan konstitusi.

Tentu saja dalam hal ini pemilu merupakan hal yang paling penting dalam suatu kehidupan tatanan masyarakat yang bernegara, pemilu juga adalah sarana yang sangat dibutuhkan, relevan dan substansial untuk kehidupan bermasyarakat yang adil, makmur dan sejahtera yang sesuai dengan butir butir Pancasila, semua itu berlaku untuk selama 5 tahun kedepan, dengan ikut ambil bagian untuk menentukan sosok figur, calon yang layak, calon yang akan menentukan kemana arah kepemimpinan negara maupun daerah dalam setiap periodesasi kepemiluan.

Saat ini negara Indonesia mendapatkan tingkat demokratisnya yang semakin pesat, dan ini perlu untuk dicatat, bahwasanya dalam peringkat global, indeks demokrasi Indonesia bertengger di posisi 52, naik 12 tingkat dari tahun 2020. Dimana sejak tahun 2006, indeks demokrasi Indonesia bergerak di kisaran 6,30–7,03. Indonesia mencatat kemajuan dalam kehidupan demokrasi di sepanjang tahun 2021.

Hal inilah yang menjadikan demokrasi yang tertanam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia mendapatkan perhatian yang luas dari masyarakat dunia, terlebih lagi dalam penyelenggaraan pemilu yang demokratis, yang merupakan menjadi syarat penting untuk pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Begitu juga dengan pemilu yang memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak dan impian rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan, kekuasaan untuk membangun negara yang lebih maju dan modernitas.

Istilah pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan yang melingkupi dari beberapa aspek yang penting dalam perannya. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, yaitu peserta pemilu harus bebas dan otonom, tanpa ada paksaan dan pengaruh dari pihak ketiga yang tentunya dapat membuat pemilih menjadi ambigu. Semua ini terkait dengan hal si pemilih yang mempunyai landasan hukum seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, maksudnya adalah penyelenggaran pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Karena pada umumnya, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif dan presiden yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Disinilah kemudian pemilu harus dilakukan secara berkala, menyikapi timing pada saat saat tahapan pemilu, karena dengan begitu tentu saja akan memiliki satu sudut yang harus di perhatikan, yaitu terhadap pengawasan pada saat pemilihan.

Ketiga, pemilu harus bersifat inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu, terlebih lagi jika pemilih adalah warga negara Indonesia dan cukup umur. Dengan demikian, pemilu inklusif merupakan pemilu yang diselenggarakan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua warga negara yang telah memiliki hak pilih, tanpa memandang suku, ras, agama, jenis kelamin, penyandang disabilitas, status sosial ekonomi dan yang lain sebagainya.

Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan dan kebebasan untuk mempertimbangkan atau mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana yang bebas, tidak di bawah tekanan atau pengaruh orang lain dan akses untuk memperoleh informasi yang luas. Karena dengan paksaan ataupun dorongan, maka pemilih tentu saja tidak berasaskan dengan apa yang diaspirasikannya.

Dan yang kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum,  disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Adapun lembaga penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Untuk diketahui, Pasal 3 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan setidaknya ada 11 macam prinsip penyelenggara pemilu, yaitu mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien. Terselenggaranya pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap warga negara Indonesia. Pelaksanaan pemilu bisa dikatakan dapat berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

2. Pemilih Aspiratif.

Menurut UU No.7 pasal 348-350 tahun 2017, pemilih adalah WNI yang sudah genap berusia 17 tahun atau lebih, baik sudah kawin atau belum dan pernah kawin. Dan disaat penyelenggaraan pemilu, pemilih dapat dibedakan menjadi tiga kategori. Masing masing adalah Pemilih Tetap, Pemilih Tambahan dan Pemilih Khusus.

Pemilih Tetap merupakan pemilih sementara hasil perbaikan akhir yang telah diperbaiki oleh panitia pemungutan suara, direkapitulasi oleh panitia pemilihan kecamatan, dan ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota dan direkapitulasi di tingkat provinsi dan nasional.

Sedangkan Pemilih Tambahan merupakan Pemilih yang telah terdaftar dalam DPT di suatu TPS dan oleh karena keadaan tertentu Pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar dan kemudian memberikan suara di TPS yang lain.

Dan kategori yang terakhir adalah Pemilih Khusus, yaitu pemilih yang memiliki identitas kependudukan tetapi belum terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Hanya saja, pemilih khusus menggunakan hak pilihnya pada siang hari disaat pemilihan, yaitu pukul 12.00-13.00 waktu setempat atau satu jam sebelum Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditutup. Pada tahun 2019 ketiga kategori yang dimaksudkan diatas digunakan sebagai standar pemilu.

Untuk menyikapi dari ketiga kategori pemilih, yang manakah pemilih yang aspiratif?. Dapat dijelaskan, sebenarnya ketiga kategori tersebut semuanya bisa dikatakan sebagai pemilih aspiratif, jika saja pemilih tepat sasaran untuk calon yang dipilih, dengan menggunakan pola pikir yang paripurna, sesuai dengan apa yang diinginkan untuk dimasa depan.

Namun ada yang perlu diperhatikan, untuk mencapai pemilih yang aspiratif ada beberapa sudut pandang yang harus diingatkan, selain keterlibatan parta politik yang memkampanyekan produk mereka, bahwasanya pemilu juga diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara lebih berkualitas, sistematis, legitimate, dan akuntabel yang juga melibatkan masyarakat terhadap partisipasinya dalam penyelenggaran pemilu.

Semua sudut yang terkait dengannya, penyelenggara pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih, ataupun pihak lainnya harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah di tetapkan. Pemilih dan peserta pemilu mendapatkan perlakuan yang sama dan bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak mana pun. Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggung-jawaban yang jelas.

3. Pemilih Demokratis.

Secara etimologis, Demokratis berasal dari kata demokrasi, asupan dari dua kata Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat, dan kratos/kratein yang artinya kekuasaan/berkuasa. Demokrasi berarti rakyat berkuasa atau government by the people. Bagi Jimly Asshiddiqie, demokrasi

pertama-tama merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaaan itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang lebih partisipatif, demokrasi itu bahkan disebut sebagai konsep kekuasaan dari, oleh, untuk dan bersama rakyat. Artinya, kekuasaan itu pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.

Sedangkan Demokratis adalah sikap demokrasi yang dilakukan oleh setiap warga, dengan prilaku individu, tindakan, perasaan, pandangan yang menjunjung tinggi persamaan, menghargai pendapat orang lain, musyawarah, kebebasan, dan tanggung jawab. Contoh sikap demokrasi seperti bersikap adil kepada semua orang, jika dalam berorganisasi selalu mengedepankan musyawarah dalam pengambilan keputusan, selalu menghargai perbedaan pendapat, saling menghargai dan menghormati antar sesama manusia dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan gotong royong dimana dalam hal ini tentu saja pada pemilihan umum.

Dapat diketahui bersama pemilu yang merupakan sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1955 harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi, dan dapat menyerap serta memper-juangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan ber-bangsa dan bernegara.

Sedangkan untuk menyikapi pemilih yang demokratis adalah bagaimana pemilih bisa atau mengedepankan pilihannya secara otonom, keleluasaan partisipasi bagi siapapun, baik individu maupun kelompok.

Dalam literatur ilmu politik modern disebutkan Prof Muhammad seorang anggota dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tahun 2018 pernah menyatakan setidaknya ada beberapa ciri pokok dari sebuah sistem politik yang demokratis, seperti adanya partisipasi politik yang luas dan otonom, demokrasi pertama-tama mensyaratkan dan membutuhkan adanya keleluasaan partisipasi bagi siapapun, baik individu maupun kelompok, secara otonom. Tanpa perluasan partisipasi politik yang otonom, demokrasi akan berhenti sebagai jargon politik semata.

Selanjutnya, terwujudnya kompetisi politik yang sehat dan adil. Dalam konteks demokrasi liberal, seluruh kekuatan partai politik atau kekuatan sosial-kemasyarakatan baik kelompok kepentingan dan kelompok penekan, diakui hak hidupnya dan diberi kebebasan untuk saling berkompetisi secara adil sebagai sarana penyalur aspirasi masyarakat, baik dalam pemilihan umum atau  dalam kompetisi sosial-politik lainnya.

Ketiga, adanya suksesi atau sirkulasi kekuasaan yang berkala, terkelola, serta terjaga dengan bersih dan transparan, khususnya melalui proses pemilihan umum. Keempat, adanya monitoring, kontrol, serta pengawasan terhadap kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi, dan militer) secara efektif, juga berwujudnya mekanisme checks and balances di antara lembaga-lembaga negara. Dan yang kelima, adanya tatakrama, nilai, norma yang disepakati bersama dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. 

4. Permasalahan.

Meskipun dalam pandangan masyarakat terlihat tersusun dengan rapi mengenai apa yang baru disampaikan pada tulisan yang diatas, setidaknya ada juga yang perlu disorot yaitu beberapa kelompok warga yang lainnya yang tidak ambil peduli akan pentingnya pemilihan umum, inilah yang kemudian menjadikan mereka sebagai kaum golongan putih (Golput). Bagaimana peran penyelenggara tetap terus mengkampanyekan pentingnya pemilu untuk kehidupan bangsa dan berwarganegara selama 5 tahun kedepan.

Tantangan inilah sebenarnya yang menjadi permasalahan dalam setiap pemilihan umum, setidaknya jumlah golongan putih pada setiap pemilu semakin berkurang semenjak tahun 2004 hingga 2019. Tentu saja angka penurunan yang baik itu dapat diapresiasikan karena tingkat tidak ambil peduli, acuh tak acuh terhadap pemilu sudah semakin berkurang. Menurut Lingkaran Survei Indonesia, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilih atau golput di pemilu tahun 2019 paling rendah sejak pemilu 2004 terlebih lagi dalam pemilihan presiden.

Meskipun angka itu menurun dari tiap tahun pelaksanaan pemilu, belum tentu ditahun 2024 jumlah golput apakah meningkat ataukah menurun, namun yang pastinya saat ini penyelenggara pemilu tetap terus berupaya semaksimal mungkin untuk mengkampanyekan hak pilih warga pada saat pemilu.

Baik pemilih aspiratif ataupun pemilih yang demokratis, keterlibatan pemilihlah yang sebenarnya harus di kedepankan untuk menuai tolak ukur kandidat yang akan dipilihnya, menentukan nasib bangsa, daerah dan kehidupan tatanan masyarakat yang berkeadilan makmur nan sentosa.

Dengan terselenggaranya pemilu secara demokratis tentu saja akan menjadi dambaan setiap warga negara Indonesia dan dapat dikatakan juga jika pemilu berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dan dimana juga setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali saja, dengan memiliki nilai yang sama, yaitu satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan prinsip one person, one vote, one value (opovov).

5. Kesimpulan.

Dalam konteks kepemiluan, seandainya saja masyarakat memahami pemilu adalah sebuah mekanisme demokrasi yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik, maka setidaknya masyarakat dapat menikmati kehidupan yang lebih baik dan sejahtera, namun pada praktiknya pemilu hanyalah acara rebutan lahan jabatan di antara para elite partai politik, maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di tingkatan pemilih.

Ini merupakan keadaan psikologis yang tidak meyenangkan yang timbul pada dalam seorang pemilih hingga terjadinya konflik di antara dua kognisi, yakni antara pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik dalam pemilu dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh para ahli teori disonansi kognitif seperti Festinger menyebutkan sebagai inskonsistensi logis. Disonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik bisa menyebabkan pemilih apatis, bahkan apolitis di kemudian hari.

Pemilu seyogianya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, tetapi harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk pemilih rasional (rasional voter) yang memiliki daya tawar.

Dan dari apa yang telah disampaikan pada penulisan ini, ada beberapa poin penting yang perlu diingatkan kembali, bahwasanya masyarakat atau wargalah yang menjadi peran penting untuk mewujudkan impian dimasa depan mengenai pemimpin negara, istilah kekuatan di tangan rakyat dapat dibuktikan dengan prinsip dasar pada saat pemilu yang dilakukan dengan cara adil, jujur dan bebas tanpa dari dorongan dari pihak manapun.

Dengan menciptakan atau menumbuhkembangbiakkan pemilih untuk pemilu yang aspiratif dan demokratis adalah perlunya ada penekanan dari penyelenggara sendiri untuk bisa mencerdaskan pemilih agar kehidupan bermasyarakat sesuai dengan harapan dan impiannya. Implementasi ini sudah cukup jelas untuk dijadikan perbandingan dari setiap masa ke masa pemilu berlangsung.

Dari maraknya golput hingga pemilu pilpres tahun 2019 angka golput menurun dengan signifikan, meskipun tidak menurun drastis setidaknya warga sudah cerdas dan tidak lagi bersentuhan dengan apa yang mereka kenal dengan money politics. Semoga saja konsep ini bisa bertahan dan tidak adalagi tekanan dari pihak manapun yang menginterogasi kesucian hak pemilih.

6. Penutup.

Komitmen parpol sebagai peserta pemilu bisa diterjemahkan lebih operasional ke dalam beberapa hal. Pertama, taat dan patuh kepada aturan main yang telah ditetapkan. Kedua, memilih calon-calon yang berkualitas baik untuk caleg maupun capres/cawapres.

Ketiga, berkomitmen untuk menguatkan peran fungsional mereka dalam kerja-kerja nyata yang bisa menguatkan warga. Keempat, secara sadar dan penuh tanggung jawab tidak menjadi bagian dari masalah dengan menghalalkan segala cara untuk menang dengan menabrak aturan main. Misalnya, melakukan kampanye hitam, menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, doxing, pembullyan/perundungan, persekusi, perilaku membeli suara (vote buying), bertransaksi ilegal dengan para penyelenggara, dan lain-lain.

Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut penyelenggara pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya  untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pemilu. ***

*Penulis adalah aktivis kepemudaan kota Dumai, alumni organisasi kemahasiswaan dan aktif pada beberapa kegiatan komunitas di kota Dumai.




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan