Nasional

Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas akhirnya disahkan. Kehadiran UU tersebut diharapkan bisa meredam diskriminasi yang selama ini dialami para penyandang disabilitas.

Diskriminasi Dunia Pendidikan   

Diskriminasi di bidang pendidikan misalnya. Berdasarkan pantauan komunitas yang peduli penyandang disabilitas, diskriminasi di bidang pendidikan antara lain pernah terjadi dalam  mekanisme Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014. Pada bagian daftar perguruan tinggi berserta jurusannya, tertera beberapa opsi persyaratan untuk calon mahasiswa yang mendaftar. Ada tujuh kode persyaratan, yakni; tidak tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, buta warna sebagian, buta warna keseluruhan maupun sebagian.

Salah satu contoh di Universitas Indonesia. Pada jurusan arsitektur, misalnya, ada persyaratan kode 1 (tunanetra), 2 (tunarungu), dan 5 (buta warna sebagian). Begitu pula untuk jurusan pendidikan dokter, ada persyaratan kode 1 (tunanetra), 2 (tunarungu), 3 (tunawicara), 4 (tunadaksa), 5 (buta warna sebagaian)  dan 6  (buta warna keseluruhan maupun sebagian).

Menariknya, tidak semua jurusan IPA menggunakan persyaratan tersebut. Pada jurusan Ilmu Gizi dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, keduanya tak membatasi penyandang disabilitas menjadi mahasiswanya.

"SMPTN tahun 2014 itu diskriminasi banget. Misalnya masuk sastra Inggris tidak tunanetra dan tunarungu. Harusnya tolak ukurnya itu NEM. Kalau pakai persyaratan seperti itu, maka penyandang disabilitas nggak bisa masuk perguruan tinggi. Hal seperti ini tidak boleh terulang lagi," kata Hadianti.

Dengan berbagai perlakuan diskriminatif tersebut, tak heran jika penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi angkanya cukup sedikit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2015, penyandang disabilitas usia 5-29 tahun hanya 36,49 persen yang sekolah, 41,89 persen tidak bersekolah/putus sekolah, bahkan 21,61 persen tidak pernah sekolah.

Memang, ada beberapa perguruan tinggi yang sudah memberikan layanan bagi penyandang disabilitas. Misalnya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Brawijaya, UIN Syarif Hidayatullah, atau Universitas Diponegoro. Padahal berdasarkan data Direktorat Jenderal Kelembagaan IPTEK dan Dikti, Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi, terdapat 4.310 PTN dan swasta.

Fajri Nursyamsi juga membenarkan adanya perlakuan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di pendidikan tinggi. "Di perguruan tinggi, para penyandang disabilitas menurun. Hanya sedikit yang melanjutkan ke perguruan tinggi," kata Fajri kepada tirto.id, di Jakarta, pada Senin (5/9/2016).

Masih menurut Fajri, turunnya jumlah penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi bukan hanya masalah biaya pendidikan dan adaptasi, tetapi juga perlakuan diskriminasi dari lembaga pendidikan. Faktor-faktor itu menyebabkan orang putus sekolah. 




[Ikuti Monitorriau.com Melalui Sosial Media]






Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 0853-6543-3434/0812-6686-981
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan Monitorriau.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan